Yakin Ibu-ibu Buzzer Sanggup Melakukan 5 Hal Ini Di Media Sosial Demi Klien?

Sebagai buzzer, nyatanya banyak yang sanggup melakukan apa saja, termasuk 5 hal dibawah ini demi klien di media sosial, baik demi invoice maupun tidak dibayar sama sekali.

buzzer

Dahulu, buzzer itu adalah status (mungkin juga pekerjaan) yang bergengsi karena dianggap memiliki pengaruh yang besar terhadap followers dan netizen secara luas. Sekarang semua orang bisa menuliskan "buzzer" di bionya meski followers baru sedikit karena baru saja buka akun media sosial setelah ikut kelas monetizing. Memangnya nggak boleh? Ya bolah-boleh saja to. Nggak ada aturannya. 

Pencantuman bio sebagai buzzer untuk memudahkan orang lain atau agensi menandai, untuk akhirnya menggunakan jasa yang bersangkutan. Followers sedikit tidak masalah, asal bisa mengakrabi koordinator buzzer, kejar dengan following akun lain secara hiperaktif atau beli saja. 

Masa gemilang dunia buzzer dimulai sekitar pilpres lalu. Gemilang disini dalam hal berlimpahnya job tentu saja karena tidak hanya politikus yang kemudian menggunakan jasa buzzer untuk menaikkan popularitas mereka tapi juga brand berbagai ukuran usaha, bahkan instansi pemerintah. Sebelumnya, pengguna buzzer adalah brand-brand besar yang sudah paham tentang pentingnya memviralkan produk mereka. Tapi setelah itu, semua seperti butuh buzzer.

Kini buzzer dianggap sebagai status (mungkin juga pekerjaan) yang sanggup melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Banyak pernyataan yang menyudutkan buzzer sebagai pekerjaan tidak bermutu, bahkan ada yang menganggapnya haram. Dahulu pandangan seperti itu banyak dialamatkan ke buzzer politik karena kerasnya persaingan. Belakangan buzzer brand juga tidak sungkan menyerang brand lain. Menyerang brand lain adalah sesuatu yang dilarang oleh suhu-suhu buzzer jaman dulu. Tapi kan cuma dilarang demi etika? Memangnya buzzer sekarang masih beretika? Memangnya ada aturan hukum tentang etika? 

Mengapa buzzer sedemikian berani melakukan campaign yang menjatuhkan lawan? Apalagi jika buzzer tersebut bukanlah akun-akun palsu yang dikendalikan oleh seseorang atau sekelompok orang? Tak sedikit lo akun tersebut dimiliki ibu-ibu seperti saya. Memangnya bayarannya berapa? Surprisingly, tidak semua dibayar. Apakah ini karena kesadaran pribadi atau memang nggak mudeng dengan apa yang ia lakukan saja?

Saya punya 2 teman dengan pandangan yang berbeda tentang pekerjaan.
Teman 1: Kerja itu ya sesuai bayaran saja to kalau itu bukan usaha milik kita. Selebihnya adalah hak prerogatif kita, mau gegulingan dengan keluarga atau sepedaan.
Teman 2: Kerja itu harus memberi semaksimal mungkin, melebihi bayaran yang kita terima. Insya Allah hasilnya juga akan lebih, kalau tidak sekarang, ya mungkin nanti. Siapa tahu ketika orang yang membayar kita itu butuh kualifikasi seperti kita, ingatnya kita, berkat kerja kita yang melebihi ekspektasinya sebelumnya.

Teman-teman pembaca blog beyourselfwoman setuju yang mana?


#1 SILATURAHIM VS PERASAAN MENANG

Orangtua saya selalu menekankan yang nomor 2. Dijamannya, itu benar-benar membuahkan hasil karena penghargaan yang diterima beliau melebihi kualifikasi beliau. Jaman sekarang, meski saya selalu terapkan no 2, seringkali berakhir cuma dikibulin. Bwahahahaaa maaf diselingi curhat. Tapi itu bukan berarti mengeneralisasi degradasi moral orang jaman sekarang yang nggak mau menghargai kerja keras orang lain lo. Mungkin saya sering apes saja, kurang doa dan sedekah.

Okey, kembali ke buzzer. Seringkali saya miris, bahkan sedih, melihat buzzer yang ibu-ibu ini. Kalau buzzer pemburu invoice terserah lah ya. Tapi ibu-ibu buzzer ini seolah tak mengerti apa yang terjadi. Mereka sanggup melakukan apa saja demi yang di-buzzer-i. Dalam hal ini mereka menerapkan saran teman saya no 2 tersebut.

Hasilnya tentu ada yang baik, yaitu mereka yang punya pengetahuan memadai dan punya pengendalian diri untuk memilih campaign yang sesuai. Yang bikin paling miris itu adalah yang membela brand tersebut habis-habis sampai nyinyir sepanjang jalan kenangan dan sanggup kehilangan teman yang berseberangan karenanya. Apakah itu worth it? Entah apakah bayarannya sesuai atau malah nggak dibayar, yang membuat saya sangat sedih itu karena "pengorbanan" yang sedemikian besar itu berlawanan dengan apa yang terjadi di sisi lain.

Contohnya ketika teman-teman buzzer berantem soal provider beberapa hari lalu, di newsfeed saya terpampang pula gathering senang-senang keluarga karyawan dari provider tersebut. Teman-teman yang ribut itu dapat apa? Berlembar-lembar invoice? Kontrak seumur hidup? Yang ada mah putus silaturahim dan dosa berantem. Sementara karyawan perusahaan yang teman-teman bela itu mendapat gaji gede tiap bulan, tunjangan perumahan, dana gathering, asuransi kesehatan, tunjangan pendidikan anak, bonus tahunan, THR dan sebagainya. Dengan kenyataan seperti itu, saya kok pilih saran teman no 1.

Yang membuat saya sangat terpana adalah kenyataan bahwa ada yang sama sekali tidak peduli dengan imbalan, melainkan cukup dengan perasaan puas telah men-jleb (Eh apa ya istilahnya? Hehee) pihak yang berseberangan dengannya. Such a waste. Apalah artinya menang untuk hal-hal yang tidak prinsip? Bisa-bisa malah dosa menyulut permusuhan. Mending waktunya buat menemani anak mewarnai gambar.


#2 VIRAL VS PRIVACY

Biasanya buzzer brief itu cukup jelas tentang apa dan harus bagaimana. Tapi demi menjalankan saran teman saya yang no 2 diatas, ibu-ibu seringkali melakukan lebih dari brief tersebut. Harapannya adalah agar "dipakai" lagi di campaign lain, juga sekalian untuk personal branding. Yang paling sering dikorbankan, dan sayangnya secara sadar, adalah privacy.

Contoh, ketika mem-buzzer-i produk anak-anak dan tidak ada permintaan untuk foto anak sendiri, tapi buzzer yang merasa tidak mantap tanpa foto yang cetar akan meminta anaknya untuk berakting didepan kamera. Saya pernah seperti ini dulu tapi sudah saya hapus karena memang tidak ada permintaan foto anak. Saya-nya saja yang merasa harus mengeluarkan top performance dalam mem-buzzer.

Apalagi kalau buzzing tersebut dilombakan. Kalau dilombakan di event sih enak ya, tinggal memanfaatkan sekitar event dan isi dari event tersebut. Tapi ada juga lomba buzzing yang dilakukan dalam waktu tertentu dengan penilaian engagement sebanyak-banyaknya. Tak jarang untuk tema tertentu, foto-foto keluarga dikeluarkan. Itupun belum tentu menang, tapi hal-hal pribadi kita sudah terpampang nyata didunia maya.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghasilkan top performance sebagai buzzer. Saya tidak ahli di bidang ini. Tapi setidaknya teman-teman saya yang sering mendapat campaign besar tak melulu mengandalkan hal-hal frontal. Ada saja kreasi mereka. Misalnya tentang produk anak yang tidak dimintai foto anak tersebut, dia tidak begitu saja memajang foto anaknya tapi cukup tangan si anak yang bantek khas balita yang di-video beserta suaranya. Malah lucu banget.

Mempertahankan privacy dimana kita melihat kesempatan untuk menyambar job-job lain itu memang berat banget. Kembali ke contoh produk anak yang tidak mensyaratkan foto anak tadi. Godaannya apa? Kalau agensi atau koordinator buzzer terkesan, mungkin dimasa depan akan ada job untuk si anak dan job keluarga bahagia. Maka si ibu merasa perlu membuat akun portofolio si anak dan akun keluarga untuk menampung berbagai job.

Ah seleb juga begitu dan bisa kaya raya cuma dari endorsement masa kita nggak boleh? Boleh saja dong. Kan judul artikel ini berkaitan dengan kesanggupan. Kalau sanggup ya silakan saja. Memangnya kalau sanggup, tantangannya apa?

Tantangan utama tentusaja berkurangnya privacy. Tiap perkembangan kehidupan pribadi kita akan ditanyakan pemirsa, apalagi pemirsa yang sudah kenal. Kita sendiri juga akan terpancing mengabarkan kehidupan kita secara rutin sebagai respon terhadap perhatian yang kita dapat. Judgement liar tak bisa dihindari, tapi kalau sanggup, ya jalan saja.

Tantangan yang paling merugikan adalah pembajakan akun. Provider besar saja bisa di-deface dan akun seleb IT bisa diambil alih. Padahal mereka adalah orang-orang unggul di bidang IT. Apalagi cuma akun ibu-ibu. Sekali lagi kalau sanggup ya tidak apa-apa. Seperti seleb IT tersebut yang dengan cepat bisa bangkit karena followers setianya memang banyak jadi mudah baginya untuk membuat akun baru.


#3 PRINSIP VS INVOICE

Apakah teman-teman punya prinsip dalam menerima job buzzing? Yang "katanya" umum dipegang teman-teman saya adalah:

  1. 1. Tidak mengandung SARA.
  2. 2. Tidak sedang berperkara hukum atau sengketa.
  3. 3. Tidak bersangkutan dengan politik.
  4. 4. Tidak menjelek-jelekkan kompetitor.
  5. 5. Tidak mengandung unsur pornografi.
Kenyataannya, no 1-4 sudah dilakukan dengan terang-terangan oleh sebagian teman-teman buzzer termasuk ibu-ibu yang lemah lembut tersebut. Ada anggapan jika terlalu kencang memegang prinsip, akibatnya akan sepi job. Jadilah buzzer yang serba bisa. Yah, kalau sanggup sih nggak apa-apa. Karena prinsip itu perimbangannya adalah hati nurani dan pertanggungjawaban terhadap yang maha esa. Yakin invoice sanggup menutupnya? Halal haramnya sebagai buzzer memang tidak ditentukan oleh sebuah organisasi massa melainkan nurani kita sendiri. Setipis atau setebal apakah nurani kita terhadap invoice?


#4 SELEB VS SERVICE

Saya pernah membaca artikel disebuah blog seorang buzzer (maaf saya lupa milik siapa karena sudah sangat lama) bahwa sebenarnya buzzer itu bekerja untuk 2 pihak, yaitu klien dan followers. Kepada klien, dia harus menunjukkan apa yang telah dijanjikannya, misalnya masuk trending topic, di-like 100 followers, sekedar ada posting dan sebagainya. Kepada followers, dia memberikan informasi yang benar tentang bahan campaign yang dibawakannya.

Sepertinya mudah, tinggal hore-hore. Prateknya, tidak sedikit yang kewalahan. Misalnya jika produk yang dibawakan sedang menghadapi masalah kualitas. Buzzer harus mampu menunjukkan empati meski tidak bisa memberikan solusi. Itu sulit ya, karena bagaimanapun buzzer-lah yang membuatnya membeli produk tersebut. Bisa saja sih mengatakan bahwa itu tanggung jawab klien, tapi mengatakan dengan empati itu perlu latihan dibandingkan mengatakan seperti itu tapi terlihat sebagai lempar tanggung jawab. Buzzer yang tidak tahan akhirnya curhat berseri di facebook. Dan jangan senang dulu kalau curhatan tersebut mendapatkan respon dari teman-teman akrab atau yang senasib. Jangan-jangan sebagaian besar lainnya malah sudah hide, unfollow atau mute karena merasa terganggu. Padahal audiences adalah modal dasar buzzer.

Karena itu, punya job buzzing tidak lantas menaikkan status menjadi seleb. Kalau seleb hanya didasarkan dengan jumlah followers, beli saja juga bisa. Seorang teman dengan followers 12.000 di instagram (tidak mau disebutkan namanya padahal bisa sekalian promosi di blog ini lo) mengatakan bahwa 12.000 followers yang didapatnya dengan susah payah posting rutin itu tidak lantas membuatnya merasa jadi seleb. Ia merasa tidak sedang endorse seperti artis yang followernya beryuta-yuta, melainkan sedang bekerja biasa saja. Hanya saja tools pekerjaannya adalah akun media sosial. Duh, mendengar penuturannya, makin cinta dengan adek itu.

Etos seperti itu membuatnya terhindar dari bersikap "ngartis", melainkan sedang bekerja profesional untuk kepentingan klien semata. Memangnya apa yang salah dengan "ngartis"? Bukankah supaya sekalian menguatkan personal branding agar makin banyak produk yang minta di-endorse? Teman saya bilang, dengan "ngartis", tujuan untuk mendapat penghasilan seringkali bergeser. Bukan lagi bagaimana mendapatkan penampilan sebaik-baiknya agar diperhatikan klien dan followers, melainkan mulai melakukan hal-hal yang mendatangkan kontroversi dan kecanduan perhatian. 

Kontroversi sudah banyak kita saksikan di akun-akun instagramers muda. Ibu-ibu mau seperti itu? Ngetop dengan jalan kontroversi dan drama? Sedangkan kecanduan perhatian urusannya di dompet. Pendapatan dari buzzing tidak bisa menutup pengeluaran untuk menarik perhatian followers. Tapi kalau anak orang kaya atau suami taipan sih mungkin bisa ya menutup gap penghasilan tersebut. Misalnya, job dari buzzing dapat sejuta tapi pengin tampil di jet pribadi seperti Princess Syahrini. Hahahaaa ya nggak se-ekstrem itu sih tapi begitulah kira-kira gambarannya.


Baca: Eksis Bermedia Sosial Bisa Bikin Bangkrut



#5 SUKARELA VS BERBAYAR

Buzzer nggak dibayar? Kok mau-maunya? Ada berbagai alasan orang mau melakukan buzzing tanpa bayaran. Untuk isu politis, SARA atau gerakan tertentu, mereka membela prinsip yang dipercayai. Untuk buzzer produk karena mereka menyukai kualitasnya. Tapi bisa juga karena gerah melihat ulah campaign tanpa etika seperti ribut-ribut provider war lalu padahal dia bukanlah pengguna provider-provider tersebut.

Untuk yang membela prinsip tentu tak bisa ditanya apa yang dia dapat dari mem-buzzer secara sukarela tersebut karena mereka memang melakukannya tanpa mengharap imbalan dan tidak memikirkan kerugian. Karena nothing to loose seperti itu, buzzer sukarela terlihat tak gentar.

Sedangkan buzzer berbayar, ada yang terlihat santai, ada yang kemrungsung banget semua diceritain, dari segernya transferan yang sambung-menyambung tak putus-putus, to do list panjang, ngarep-ngarep transferan sampai invoice tak terbayar. Sekarang memang jamannya marketing terbuka, biasa saja bicara duit didepan umum. Sayangnya, media sosial itu merupakan jejaring. Secara tak sengaja kita lantas terhubung dengan teman-teman orang tua, kolega suami, ortu teman anak-anak, yang tak semuanya paham tentang "profesi" buzzer.

Jika kebanyakan profesi lain menganggap bahwa penghasilan itu adalah pembicaraan tertutup antara karyawan, HRD dan istri/suami, maka sudah biasa buzzer mendaftar rekrutmen yang menyebutkan upah yang akan didapat dan buzzer juga sudah biasa memproklamirkan transferan. Sering itu dilakukan tanpa bermaksud pamer (meskipun yang pamer juga banyak) tapi hanya ungkapan bahagia saja karena buzzer bukanlah pekerjaan tetap sehingga tiap transferan layak disyukuri. Namun bagi pihak yang tak paham, apalagi dengan sentimen negatif terhadap buzzer akhir-akhir ini, status-status buzzer ikut mendapatkan tanya.

Kalau ibu-ibu sanggup mendapatkan anggapan kurang menyenangkan dari orang yang tak paham tentang buzzer atau bahkan sudah paham tapi bawaannya curiga, barulah bisa menjadi buzzer yang menikmati pekerjaan. Kalau tidak, niscaya timeline teman-teman akan penuh dengan curhat, ngomel-ngomel dan marah-marah. Bukannya membuat pekerjaan buzzer itu jadi jelas definisinya, malah di-hide, di-mute atau di-unfollow orang-orang. Bagaimanapun harus diterima bahwa buzzer adalah pekerjaan yang tidak berinstitusi, tidak ada pengakuan resmi, dan tidak pula dilindungi undang-undang seperti profesi jurnalis misalnya.

----------
Menjadi buzzer itu sepertinya menggiurkan karena bisa dilakukan dimana saja, bisa disambi apa saja, temannya banyak, gaul, ngetop, dapat duit, produk gratis, jalan-jalan gratis dan sebagainya. Tapi tak jarang ibu-ibu tidak mau ribet membaca brief atau googling sejenak untuk mengetahui apakah campaign tersebut bermasalah atau tidak. Apalagi jika buzzing dilakukan bersama-sama dengan teman-teman ikrib, maunya nurut saja dengan teman-temannya tersebut. Padahal kendali nasib dan nama baik ada di tangan kita sendiri. Apa nggak ngeri dengan kecenderungan yang keceplosan sedikit saja di media sosial langsung di-capture, dibully dan dicari? Apa jadinya jika ternyata campaign kita itu malah berseberangan dengan kepentingan masyarakat atau membela koruptor?

Media sosial sudah berkembang sedemikian sensitif sehingga membuat kita harus benar-benar berhati-hati dengan campaign apapun. Jangan lupa banyak-banyak berdoa supaya tidak kesandung kasus atau kepleset status.


Post a Comment

18 Comments

  1. Hehe, buzzer ibu-ibu rela melakukan apa saja demi yg di buzzer i. Iya, tipis batas profesionalitas dengan kebablasan/lebay 😀 dan ya biasanya ada udang dibalik rempeyek, alias pingin dikasih job lagi 😀

    TFS, MakLus...tulisannya mencerahkan 😊

    ReplyDelete
  2. godaan rupiah kadang memang melenakan...saya pun suka terlena , ununglah masih terkendali heheheh

    ReplyDelete
  3. Aku unfollow dulu dah yg war war itu, maaf nnati kalau dah sepi follow lagi heehe

    ReplyDelete
  4. Makasih remindernya mbak lusi, jadi lebih berhati2 sekarang nerima job..

    ReplyDelete
  5. Memang harus hati-hati juga ya jadi buzzer itu, salah-salah bisa kena bully yang parah kalo malah jadi kasus.

    ReplyDelete
  6. Belum sanggup jadi buzzer mak hehe. Waktu yg harus dibayar terlalu mahal Akhirnya bisa sampai terbawa emosi ya. Jadi lucu juga kan...

    ReplyDelete
  7. nyimak dulu baru tahu buzzer itu apa.

    ReplyDelete
  8. pengamanan cyber kian disiplin, harus hati-hati dalam bermedsos ria

    ReplyDelete
  9. Jangan sampe deh berapapun tebalnya invoice Samapi menggadaikan hati nurani. Big No lah.Suka mengeksploitasi anak juga kadang, gpp dikit ya Mak Lus, toh produk untuk anak kok. ((Ngeles))

    ReplyDelete
  10. luar biasa memang perkembangan duni buzzer ini ya mba..aku masih belum menekuninya, baru liat bolak-balik di TL aja :)

    ReplyDelete
  11. Wah baru nemu artikel ini di tengah panasnya buzzer. Makasih sudah memberikan insight ya Mbak buat "rem" kl misal jadi subyek buzzernya. Memang secara umum harusnya udah tau etikanya gimana, tp kadang suka luput :(

    ReplyDelete
  12. Aamiin.. semoga selalu dijaga Allah dari tersandung masalah di medsos ini. Rentan viral, nama baik rusak.

    ReplyDelete
  13. Aku suka tulisan mbak lusi, mencerahkan dan mengingatkan, sedang berusaha mencari rezeki yg berkah untuk semua, semoga tidak keblinger dengan wangi rupiah yg berujung tercatatnya amalan jelek, naudzubillah

    ReplyDelete
  14. Tulisanmu bener2 mewakili fenomena buzzer ibuk2 saat ini dari point pertama sampai terakhir. Menjadi berbeda saat ini berarti bersiap untuk tidak menjadi populer dan gak dilirik pemberi job.
    Gak habis pikir untuk point pertama, saat ini orang lebih banyak memiliki perasaan senang, hebat, keren, viral dan berasa seleb hanya karena jadi buzzer dan muncul di berbagai kempen dan live tweet di banyak event setiap hari. Jangan tanya soal silahturahmi atau prinsip.Ibuk2 beranak remaja saja tak jua bertambah bijak memilah kempen apa yg pantas. Bahkan yang menyentuh halal haram saja menjadi tipis batasnya. Kampanye minuman beralkohol, black kempen, menjatuhkan kompetitor adalah salah dua fenomenanya. Belum termasuk ibuk2 yang jangankan kehilangan etika. Kehilangan moralitas dan harga diri aja mampu kok demi job dan addicted perhatian. Bahkan rusaknya hubungan keluarga dan merusak keluarga orang lain juga ada demi yang demikian. Ah gak habis2 rasanya miris pada yang seperti ini. Lalu komenku panjang hahaha. Maafkan...

    ReplyDelete
  15. Meluncur ke sini dari round upnya Mba Carra. Mencerahkan banget tulisannya Maklus. Suka dengan gaya bertuturnya yang lembut dan akrab. Nggak koyok aku pecicilan :p

    Btw yang war2 itu aku nggak tau sama sekali, ahahaha. Kudet pwol. Tapi beberapa waktu yg lalu ada juga kasus buzzer salah satu provider yang kesandung. Sampai ditulis di blog seseorang. Allahurabbi, semoga saya terhindar dari yang demikian.

    Sekali lagi makasih ya MakLus. Semoga sehat terus. Mau subscribe ah biar nggak ketinggalan postingan :*

    ReplyDelete
  16. Jadi buzzer itu susah menurut pengalamanku. Gimana harus menyenangkan klien dan menjaga supaya follower setia gak kabur karena kita kebanyakan ngiklan. Hiks, suka dilema saat mau posting. Tepat gak ya

    ReplyDelete
  17. Baru beberapa kali dpt job jd buzzer, tp hawanya memang ada ibu2 yg totalitas banget ya nge-buzz :D
    Emang nggak cuma bicara yg mesti hati2, gerakan tangan juga mesti hati2 ._.

    ReplyDelete
  18. banyak sepakat dg tulisan ini.
    soal foto produk dg anak, mbok yao si ibu ikut foto selfie berdua, jangan cuma anaknya suruh foto tapi ibunya gak pede ngadepin kamera.

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)