Eksis Di Media Sosial Bisa Bikin Bangkrut Gara-gara 3 Hal Ini!

Eksis di media sosial bisa bikin kita bangkrut jika kita bukan anak orang kaya, bukan istri orang tajir atau tidak mau bekerja. 




Media sosial itu bisa berubah menjadi candu, kita tidak bisa berhenti kalau tidak benar-benar punya tekad seperti kecanduan lainnya. Sekali buka instagram maunya scroll terus dan terus nggak ada habisnya. Begitu pula platform lain. Apalagi kalau sedang ada gosip panas. Begitu pula setelah upload. Penginnya refresh tiap beberapa menit dan senang jika ada yang merespon. Tapi buat apa sih harus berhenti mainan media sosial? Bukankah sekarang sudah jamannya? Bukankah itu adalah sarana terbaik untuk memperkenalkan ide, pemikiran, produk atau kampanye lain ke publik?

Tidak! Tidak perlu berhenti bersosial media.

Orang bermedia sosial itu antara lain untuk:

  1. Have fun.  Ditengah kesibukan berkarya tapi jarak memisahkan, media sosial adalah sarana paling tepat untuk bersenang-senang. Di media sosial kita dapat bercanda dengan teman-teman dan saudara, mencari hiburan, mengembangkan hobi dan sebagainya yang menyenangkan.
  2. Membangun fanbase. Istilah umumnya buat nyari followers. Ini dilakukan untuk kepentingan personal branding, entah sebagai artis, tokoh, seleb maupun buzzer.
  3. Selling. Ini hampir sama dengan membangun fanbase, hanya saja tujuannya lebih jelas dengan intro penawaran yang jelas pula. Selling tidak harus berupa barang dan jasa. Kampanye pilkada DKI di media sosial yang sangat tajam persaingannya itu menurut saya sudah termasuk selling karena yang mereka post adalah penawaran apa yang didapat warga jika memilih mereka.
  4. Criminal acts. Karena keseharian orang yang makin terbuka di media sosial, tentu saja kriminal pun masuk. Selalu ada sisi negatif di setiap kegiatan. Itulah hidup. Ada yang timbul niat jahatnya setelah melihat kesempatan dari teman-teman media sosialnya, ada yang memang sengaja sign up media sosial untuk mencari peluang kejahatan. Penjahat juga pengin kekinian, to? Tindak kejahatanpun tidak hanya yang super heboh, misalnya melarikan anak gadis orang yang baru kenalan di facebook. Malahan yang terbanyak itu yang tidak terekspos misalnya membohongi teman dengan cerita-cerita dramatis, pinjam uang tidak dikembalikan dan sebagainya.

Mengapa ya bermedia sosial bisa bikin bangkrut? Bukannya gratis?

Benar! Facebook, instagram, twitter, bahkan blog gratis semua. Yang tidak gratis adalah perangkat untuk upload ke platform media tersebut dan apa yang akan diupload.

Ribut-ribut penggerebekan traveller penghutang yang di-livetweet-kan beberapa hari lalu hanya satu dari segunung masalah serupa yang tidak terekspos. Kebetulan saja korbannya adalah para traveller yang secara karakter adalah orang-orang terbuka tanpa tedeng aling-aling. Tapi berapa dari kita yang memilih diam ketika menjadi korban seperti itu? Saya sendiri pernah 2x menjadi korban serupa tapi memilih diam karena jumlahnya tidak sefantastis itu dan saya memang tidak suka ribut. Biasanya tukang ngemplang itu banyak tingkah atau malah amnesia, jadi malas saja melihat kelakuan menyedihkan tersebut.

Banyak yang menggugat sikap diam orang-orang yang kena tipu, karena diam membuat kejahatan tersebut jadi merajalela. Tapi membuktikan penipuan seperti itu tidaklah mudah. Harus ada bukti percakapan dan transaksi. Kalau perlu saksi, supaya tidak ngeles. Belum lagi perasaan tidak enak jika pelakunya teman-teman sendiri.

Baca: Over Sharing Yang Sering Dilakukan Blogger

Kebutuhan eksis di media sosial memang bisa membobol pengendalian diri seseorang. Tiba-tiba tagihan kartu kredit meledak begitu saja. Selain berhutang, pengeluaran yang lebih besar pasak daripada tiang juang bisa merobohkan tiang rumah tangga. Jadi, pikirkan lagi deh apakah eksistensi di media sosial tersebut bisa menguntungkan jadi ladang penghasilan, bisa bermanfaat bagi orang banyak atau malah bikin bangkrut.

Diantara banyak penyebab orang bisa bangkrut ketika bermedia sosial, ada 3 penyebab utama yang berhubungan dengan:

  1. 1. Fashion Budget
  2. 2. Social Budget
  3. 3. Gadget Budget


#1 FASHION BUDGET

Pengeluaran di fashion adalah tertuduh utama yang bisa membuat perempuan bangkrut. Fashion disini meliputi pakaian, makeup dan aksesoris (tas, belt, sepatu dan perhiasan). Namanya mempublikasikan diri sendiri, tentu kita ingin menampilkan citra diri terbaik kita. Salah satunya adalah dress up yang pantas. Nah, kalau tiap hari mengunggah foto diri, masa iya mau pakai baju yang sama terus? Mungkin cuma Simon Cowell dan wajah tengilnya yang oke-oke saja pakai kaos yang sama setiap kali tampil di tv. Apalagi jika sudah menuliskan hashtag #ootd (outfit of the day) atau caption "makeup tutorial", mau nggak mau harus memantaskan diri.

Foto-foto cantik itu tak hanya memberikan kepuasan pada pemiliknya tapi juga membuat perempuan-perempuan lain tertarik untuk mengikuti trennya. Pertanyaannya, mampukah diri ini mengikuti tren tersebut?

Baca: Blog 100% Review? Mengapa Tidak?

Perlu diketahui, terutama teman-teman yang belum paham tentang endorse (saya berasumsi teman-teman yang membaca blog ini bukan hanya blogger atau buzzer) bahwa sebagian teman-teman saya yang mengunggah foto seperti itu sebenarnya sedang bekerja. Saya sebut sebagian saja, tidak semua, karena yang sebagian lagi memang mampu alias punya fashion budget besar sehingga bisa ganti baju baru sepanjang waktu. Yang memang mampu nggak usah kita obrolin, ya. Terserah mereka dong uang yang berlebih itu mau diapakan.

Pakaian, makeup dan aksesoris yang dikenakan teman-teman saya di foto-foto ber-hashtag #ootd #tutorialmakeup dan brand hashtag lainnya kebanyakan gratis. Sebagian lagi menjadi manekin hidup dari produk usahanya sendiri. Mereka sedang bekerja. Mereka tidak cuma berpose cantik, melainkan juga berusaha mendapatkan respon sebanyak mungkin dari para followers mereka. Mereka punya tanggung jawab.

Kadang ada yang menggunakan logika terbalik. "Aku membeli baju, lipen dan sepatu ini supaya fotoku cetar dan mendapat tambahan followers. Kalau followers-ku banyak, aku akan ditawari endorsement, buzzing dan job review."

Okey, fine. Itu sudah awal yang benar seperti yang saya dapat dari beberapa workshop dan sharing tentang tips membangun fanbase di media sosial. Namun dalam perjalanannya, banyak yang tidak konsisten dengan niat tersebut. Mereka tidak memperlakukan "belanjaan" mereka itu sebagai modal, apalagi melakukan penghitungan apakah benar pengeluaran tersebut bisa impas. Yang tersisa hanya mengejar gaya hidup tren demi gengsi, serta tenggelam dalam likes dan loves. Yang paling sia-sia adalah ketika semua itu dilakukan hanya karena ikut-ikutan. Clueless.

Kesimpulannya, harus ada 2 pagar, yaitu pengeluaran demi tampil cantik di media sosial itu memang merupakan budget keuangan keluarga yang wajar berdasarkan pemasukan rutin atau itu diniatkan sebagai modal untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Diluar 2 hal tersebut, hati-hati, eksis di media sosial akan berbuah bencana di neraca keuangan keluarga.


#2 SOCIAL BUDGET 

Memiliki akun media sosial itu bisa jadi tidak berarti apa-apa selain hanya biar nggak kudet saja bagi yang cuma pengin have fun. Tapi bagi social media enthusiast, pengeluaran untuk bersosialiasi itu ada, terutama untuk networking. Si traveller penghutang yang saya sebutkan diatas adalah salah satu contoh yang jebol pengendalian dirinya di social budget

Kopdaran, jalan-jalan, photo shoot, arisan, event dan sebagainya adalah kelanjutan dari pergaulan di media sosial yang menyenangkan untuk diikuti. Kemungkinan yang didapat dari kegiatan tersebut juga sangat menarik, yaitu networking yang luas dan perasaan refresh dari rutinitas.  

Kopdar sekali dua kali mungkin terasa asik, tapi jika berkali-kali dan semua harus ada foto serunya di media sosial, pengeluaranpun meningkat. Jikapun tempat kopdarnya gratis, tapi argo fashion budget-nya mulai berputar.

Kabar baik bagi teman-teman yang suka baper dan merasa kurang piknik ketika hashtag sebuah event bertebaran adalah bahwa social budget yang tinggi juga harus dibarengi kerja keras. Kelihatannya di media sosial tertawa lebar, tapi untuk sampai ke cafe atau hotel tersebut perlu perjuangan. Kadang hujan, kadang berdesakan di kendaraan umum, kadang sambil gendong anak, kadang bingung mau nitipin anak dan sebagainya. Jadi itu bukan piknik, melainkan kerja. Begitu pula teman-teman yang bisa sampai luar negeri itu ada yang berjuang di lomba blog dulu, punya kewajiban buzzing, jadi koordinator share cost, freelancer agen wisata dan sebagainya.

Saya pernah melihat rombongan ibu-ibu dengan dress code mahal dan full make up heboh naik ke candi Borobudur untuk photoshoot. Mereka bahkan membawa photographer. Yes, that happens. Semua itu demi foto cantik di media sosial. Ada pula teman-teman sekolah yang bertemu kembali di media sosial lalu membuat reuni, tapi tidak diadakan di sekolah mereka dulu, melainkan sambil jalan-jalan ke Thailand.

Social budget ini agak tricky karena banyak yang menganggap penting untuk menjaga hubungan at all cost. Imbalan yang diharap tidak hanya seperti cash flow usaha melainkan juga kepercayaan orang lain dan balas budi di kemudian hari. Oleh sebab itu, biaya-biaya tersebut sering dianggap tak usah dihitung-hitung. 

Namun, untuk apa mengharapkan balas budi di kemudian hari jika sekarang saja sudah mengakibatkan hutang yang mengguncang rumah tangga? Networking atau silaturahim bisa dicarikan bentuk yang lebih cocok dengan anggaran belanja keluarga. Kalau lagi banyak uang, tentu lebih bebas mau bikin acara apapun. Tapi jika sedang dalam program pengiritan, tak perlu jumawa traktir sana sini. Be creative! 

Kesimpulannya, kalau mampu ya tidak apa-apa, antara gaya hidup dan dompet sesuai. Kalau ngos-ngosan, jangan malu untuk menolak. Jangan takut dibilang nggak kompak. Jangan minder dibilang nggak gaul. Jangan hutang demi gaya hidup!

#3 GADGET BUDGET

Di laci saya ada 4 ponsel dan 2 tablet. Sebentar, saya tidak bermaksud sombong karena gadget tersebut menggunakan teknologi lama yang tidak sanggup lagi mendukung kegiatan kami sekeluarga sekarang. Saya hanya ingin menunjukkan bagaimana teknologi cepat sekali berkembang, bahkan berubah. Kalau menuruti kekinian, bisa bikin bangkrut, karena gadget itu bukan seperti tanah yang nilainya terus naik, melainkan selalu mengalami penyusutan yang akhirnya tidak berharga. Terlebih atas nama persaingan ketat, produsen ponsel berlomba-lomba launching produk baru yang lebih canggih tapi lebih murah tiap tahunnya. Makin cepatlah penyusutan harga itu terjadi.

Di sebuah tweet (maaf saya lupa siapa yang tweet) seorang photographer menunjukkan kekecewaannya, mengapa tiap ada foto bagus orang cenderung bertanya apa kameranya dan hanya sedikit yang menanyakan tips memotretnya. Sesungguhnya, foto yang bagus itu lebih tergantung man behind the gun dibandingkan dengan perangkatnya. Sebagus apapun kamera yang dipegang, jika orang dibelakangnya tidak peka terhadap keistimewaan obyek didepannya, ya cuma akan menghasilkan foto yang biasa-biasa saja. Dengan begitu, tak perlu teracuni oleh iklan yang tentusaja berisi keunggulan-keunggulan spesifikasi yang paling dicari saat ini. 

Misalnya sekarang sedang ngehits live video, maka dalam waktu dekat pasar akan banjir ponsel baru dengan spesifikasi yang mendukung kegiatan tersebut. Apakah kita akan tergopoh-gopoh membelinya agar bisa membuat live video dengan ratusan likes di media sosial?

Baca: Social Media Live dan Tip Mencari Ketentraman Ditengah Keriuhan

Membeli gadget saat ini tidak harus menggunakan uang tunai. Toko-toko gadget menawarkan kredit dengan proses cepat dan tentu saja kartu kredit bisa selalu digunakan. Penasehat keuangan banyak yang menyarankan agar kartu kredit hanya digunakan jika mendesak atau untuk transaksi yang mengharuskannya, misalnya booking akomodasi perjalanan di jaringan internasional. Namun, beberapa motivator usaha menganjurkan hal yang berbeda. Mereka mengajarkan untuk memanfaatkan kartu kredit sebagai modal usaha, diantaranya untuk mengimpor produk retail.

Sayangnya, pemikiran yang sama diadopsi untuk eksis di media sosial tanpa punya skema usaha apapun. Kartu kredit digunakan untuk membeli laptop paling mutakhir dengan niat akan membuat tulisan-tulisan yang mengguncang dunia. Tapi kenyataannya, tak ada karya istimewa. Yang terlihat hanya wara-wiri foto pemiliknya di media sosial ditambah penampakan logo bergengsi laptop tersebut. Lalu, hutang kartu kreditnya dibayar pakai apa? Diangsur sambil perlombaan dengan bunga kreditnya? Jika membeli laptop dengan cara itu memang harus dilakukan, imbangi dengan kerja keras agar segera lunas.

Gadget memang penting untuk menghasilkan konten menawan di media sosial. Tapi yang paling penting adalah seberapa kreatif penggunanya. Jangan berhutang untuk suatu perangkat yang tidak mampu kita kuasai.

Katanya bermedia sosial itu bisa mendatangkan banyak keuntungan dan merupakan dream job dimasa depan mengalahkan pengaruh para artis. Bermedia sosial itu seakan berdiri diatas panggung selayaknya artis atau bintang iklan sehingga wajar jika ingin menampilkan yang terbaik dan eksis untuk waktu yang sangat lama. Tapi jika dibangun diatas gengsi yang tak mau kalah dengan orang lain, akan menimbulkan masalah keuangan yang akan menggerogoti kehidupan kita. Dream job berubah menjadi nightmare.


Post a Comment

25 Comments

  1. Kalo fashion budget aku boros cuman kalau ada event gede. Jadi cuman sesekali doang, tapi emang sengaja beli yg branded biar awet jadi rada mahal. Kalo dipikir-pikir, kerasa boros juga nggak juga sih karena jarang banget aku beli branded supaya awet. Bener2 cuman pas dapet event besar aja. Sisanya beli baju paling di butik macam Sakola. 100K pun dapet yg lucu-lucu. Kalo fashion budget untuk mempercantik feed IG atau blog atau apa, nggak ada. Kadang aku kepengin feed IG ku bisa cantik dan rapi seperti temen-temen influencer lain. Tapi, kadang, akhirnya jadi bersykur feedku berantakan. Jadi ga harus yg gimana banget ngusahain budget fashion atau apa. Ehehehe. Yg boros justru di kuota budget, kayaknya aku salah pilih provider nih. Aku pakai pascabayar, eh kok boros amat. Padahal temen2 yg pakai prabayar, ternyata ada provider yg menawarkan kuota inet gila-gilaan padahal harganya ga mahal (Mak Lus, ini murni curhat, bukan terlibat campaign provider apapun ya).

    ReplyDelete
  2. Setuju maklus, lifestyle dlm bersocial media harus juga pny budget. Kl buat saya, penting buka ig krn bnyk info2 wisata yg pemandangannya bagus atau makanannya enak. Kl belanja belinji masih lebih mantep liat barang baru beli, lumayanlah fashion budgetnya masih batas wajar. Senangnya bersocial media jadi tambah wawasan. ^_^

    ReplyDelete
  3. Maklus pinter banget nulis siiih, i adore you! :)
    Untung baca ini, kmrin2 pengin upgrade kamera padal udah punya yang masih berfungsi baik, selamet selamett :)))))

    ReplyDelete
  4. Aaah mak Lus....
    Manggut manggut dari depan sampai belakang. "Yang terlihat senyum senyum itu butuh perjuangan" iya banget siih...tapi part of me time adalah ngumpul bareng teman tema. Dan bersosial di dunia nyata. Untuk fashion budget,atau budget jajan ngafe dll sudah ada post-nya tiap bulan, so far belum ada pembengkakan (((beluuum))) jangan lah. Sosial media memang buat eksis. Tapi gimanapun tetep enak jadi diri sendiri yak 😄😄😄

    ReplyDelete
  5. Kalo aku ttp konsisten bersosial media gak mau rugi. Masih belum peduli dg berapa jml follower endebrei2. Yang penting bisa ikut lomba ajah trus menang. Itu udah berkah bgt. Niat awal bersosmed emang mau cari untung bukan mau cari rugi wkwkwk. Makanya kalo ada lomba di sosmed yg harus keluarin modal banyak aku males ikutan hehe..btw tulisannya maklus selalu keren dan menginspirasi

    ReplyDelete
  6. Jadi udah boleh nyombongin diri belom yak, karena nggak punya kriditan apapun malah udah bisa invest. Hehehe.

    Betul, betul, maen sosmed kalo nggak kuat iman bisa jadi bangkrut cuma nurutin biar dapet like. Hahaha.

    ReplyDelete
  7. Mak Lus, aku baru baca soal Michelle Phan yang merasa depresi karena dia "terjebak" di dalam dunia social media yang nyatanya gak bikin dia happy malah depresi. Mungkin memang ada benarnya, apa yang ingin kita tampilkan di social media gak seperti real life.. Wong Jowo ngomong e yo "Gak sumbut"

    ReplyDelete
  8. Sepakat mb. Jangan hutang demi gaya hidup.. Malah repot belakangan nantinya.
    Aku malah IG ku isinya ayam, kucing, bunga..jadi nggak perlu beli baju😊😊

    ReplyDelete
  9. Wkkka bagian foto2 terus bajunya itu lagi, itu lagi aku banget. Sempet berpikir duh apa ga bosenin tuh foto IG pakai baju yang sama mulu. Haha. Tp kenyataan nya kalau bajunya nyaman ya emang itu terus yg dipakai.haha. harus belajar mix and macth lagi nih

    ReplyDelete
  10. Sepertinya masa-masa keinginan yang dikamuflasekan sebagai kebutuhan udah lewat buatku. Ingar bingar medsos hanya sesekali aja terlibat namun tetap terkendali. Thanks for sharing MakLus 😊

    ReplyDelete
  11. foto di sosmed kadang pakai baju itu lagi itu lagi hahaha...tapi aku ya cuek aja mba.

    thanks tipsnya mba lusi ☺

    ReplyDelete
  12. Seribu persen setujuh sama postingan ini, makanya aku suka males ikutan yg kekinian2, aku suka diriku apa adanya aja lah, biar ga ngos2an

    ReplyDelete
  13. Mak Luuuss, tulisannya bagus banget :*
    Yang bagian ngerasa kurang piknik kalau ngeliat event bertebaran, aku sempet sih, hehehe, pengen gitu ngumpul dan kenalan di dunia nyata sama temen2 blogger. Tapi tak pikir wong durung rejekiku, yak opo? Sekarang lebih santai, malah bebas dari drama-drama yang ada *eh.

    Yang perkara foto juga, setuju banget yang men behind the gun. Motrek pake hp biasa aja, jangan bosan belajar meski otodidak, nggak bisa ikut workshop2 itu. Pengen kamera tapi belum mampu ya mau gimana, sabar aja sambil nabung dikit2.
    Intinya hidup kita ya kita yang ngatur, bukan orang lain apalagi cuma di dunia maya yang entah kenapa sekarang pada pinter beneer ngejudge orang. Hhhh...

    ReplyDelete
  14. kalau saya mungkin yg lowbudget banget. biasanya travelling krn ada tugas kantor atau sekolah, kalau fashion saya ngk prnh ootd hehehe malu aja ngak berani, blom pede bergaya ala ootd blogger lain

    ReplyDelete
  15. di jaman semua bisa tampil di med sos ini emang perlu pengendalian diri banget ya mbak..
    musti bisa jaga2 hati supaya nggak bikin besar pasak daripada tiang
    thanks mbak,

    ReplyDelete
  16. Aku g ada budget fix, beli pritilan fashion kalau mau ada acara aja. Gadget juga gt, udah rusak baru beli. Kuota internet yg borooos

    ReplyDelete
  17. TFS, Mak Lusi... tulisannya selalu mantap!

    Hehe, saya pernah tergoda ingin membeli barang yg kekinian, padahal gak begitu penting dan butuh. Ya, gara2 ramai di sosmed. Mupeng gitu...tapi Alhamdulilah makin kesini makin nyadar diri siapalah akuh 😀

    ReplyDelete
  18. sosial media itu emang dah kayak 2 mata piso, kalau ngga kuat iman & pinter2 jaga diri biar ngga kebawa arus :) maksud hati aku pun pengen beli kamera cetar kekinian biar kalo diundang acara keliatan keren, tapi mikir2 ntar ngga dipake ya sutra lah hihihihi mending uangnya buat anak :D

    ReplyDelete
  19. Nah, aku kemarin diskusi sama suamiku, media social kalau enggak disikapi dengan benar, bisa-bisa bikin bangkrut. Apalagi di media social semacam instagram. Duh, ampun kalau enggak kuat iman dan nalar, bisa jadi toko-nya pindah ke rumah. Semua barang-barang di IG bagus-bagus, dan emang beliable, tapi apa iya, semua yang dilihat, ditawarkan harus dibeli semua? eh malah curhat ya, kalau komen di mari...

    ReplyDelete
  20. Setuju aja sih supaya dapat endorse, (mungkin) kita harus modal ini-itu dulu. Tapi kalau tidak diperhitungkan, bisa-bisa bukannya banjir endorse malah bangkrut. Harus kuat iman. Dan saya juga rajin diskusi sama suami. Jadi ada yang ngerem juga :)

    ReplyDelete
  21. Yang bikin bangkrut itu buat beli paket internetnya mbak:( wkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. tapi kalo hidup tanpa internet hampa :"D
      gak ada hiburan, dan gak bisa kerja huhu

      Delete
  22. Aku malah baru tahu kalau ada yang bangkrut gegara eksis di sosmed.Hmmm. Aku polos banget ya mikirnya? Kukira semua orang kayak daku. Main medsos oke, penghematannya juga oke.

    ReplyDelete
  23. Sesungguhnya, foto yang bagus itu lebih tergantung man behind the gun dibandingkan dengan perangkatnya. Sebagus apapun kamera yang dipegang, jika orang dibelakangnya tidak peka terhadap keistimewaan obyek didepannya, ya cuma akan menghasilkan foto yang biasa-biasa saja <-- betul juga, peran utama ada di orang yg motret. Banyak kok foto2 bagus dihasilkan dari kamera hape saja.
    Btw bisa bangkrut kalo sudah liat2 olshop deh hahaha.

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)