Lebaran, Keluhan dan Pertanyaan-pertanyaan Menyakitkan

Lebaran itu hari yang bahagia, dimana kita sudah lulus setelah sebulan Ramadan menahan diri dan memperbanyak ibadah. Selanjutnya apa? Sesuai tradisi di Indonesia, kita masak besar, menyiapkan THR, mudik, reuni atau halal bihalal dengan saudara dan teman-teman.



Selama 10 hari terakhir Ramadan, selain status tentang mengejar lailatul qadar, juga berseliweran keluh kesah tapi senang dari para ibu yang kue keringnya habis sebelum Lebaran dan tentu saja daftar pertanyaan yang dibenci berdasarkan kesan tak menyenangkan di Lebaran tahun lalu. Saya, seperti orang-orang tersebut, mengalami hal yang sama karena saya juga tidak jauh dari kekurangan. Kekurangan itulah yang selalu ditanyakan orang lain pada saya bila bertemu di Lebaran dan seolah orang tak bisa menjaga perasaan kita sehingga mempertanyakan hal yang sama jika tiap bertemu kita tak menunjukkan yang menurut mereka adalah perbaikan. 
Tapi setahun ini saya sudah memangkas banyak hal untuk mempermudah hidup saya, dan itu termasuk dalam persiapan Lebaran kali ini. Hasilnya, ada yang membuat hidup saya lebih ringan, ada yang tetap tak nyaman seperti sebelumnya. Tak apa, yang penting sudah berkurang banyak sehingga Lebaran kali ini lebih santai.

Saya mengerti masalah hidup kita berbeda-beda. Tapi semoga yang saya bagikan di tulisan ini bisa menimbulkan ide yang lebih sesuai dengan kondisi teman-teman untuk Lebaran yang akan datang.


WAJIB NGGAK WAJIB

Bersamaan dengan sebagian THR yang saya kirimkan ke ibu, saya berpesan, "Buk, masak seperlunya saja."

Bagi para ibu, memasak untuk Lebaran itu seperti default, baik jenis dan jumlahnya. Paling-paling ditambah yang sedang tren, misalnya kuker semangka beberapa tahun lalu atau kuker ulat untuk tahun ini. Herannya, meski berlebih, tak ada usaha untuk mengurangi hanya dengan alasan karena itu adalah zona nyaman para ibu, tradisi yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Akibatnya, baru 2 sehari lepas Idul Fitri, keluhan di medsos pun seragam, yaitu opor yang bolak balik dihangatkan dan kangen bakso atau mie instan.

Meski saya tidak mengurangi nominal THR ke ibu, tapi dengan tegas saya meminta beliau memasak opor yang cukup untuk buka puasa terakhir dan hari pertama Lebaran saja. Karena itu, tak ada keluhan saya tentang opor kemarin di medsos dan wag (Whatsapp Group) untuk Lebaran kali ini. Jadi sebenarnya ini adalah persoalan yang ada dalam kendali kita. Tak perlu diulang keluhan yang sama tahun depan, jika kita mampu mengendalikannya. Daripada mubazir dan bisa ngirit, kan?

Nah, yang kita irit di opor bisa dialokasikan ke kue kering yang habis terus itu. Malah kita bisa beli saja dengan uang hasil pengiritan tersebut. Memang, beli itu lebih mahal dari bikin sendiri, tapi si ibu tidak kecapekan, punya waktu ke salon supaya Lebaran nanti tampil segar dan cantik. Terutama yang mau reunian nih, kan foto diri bakalan tersebar kemana-mana dengan atau tanpa persetujuan kita. Heheee....

Di keluarga saya, kue kering ini malah termasuk area pengiritan karena tahun lalu, 6 bulan setelah Lebaran, saya membuang kue-kue yang tersisa. Selain karena anggota keluarga kami tak banyak, kami juga tak terlalu suka ngemil kuker yang berlebihan. Paling makan sedikit karena penasaran.

Saya paham bahwa menyajikan kue kering buatan sendiri itu adalah kebanggaan para ibu. Tahun lalu ibu saya membuat kuker sangat banyak, semeja tamu bahkan sebagian saya bawa pulang. Tahun ini saya katakan kepada ibu saya bahwa saya tidak mau dibawakan kue. Tentu saja saya tidak mungkin mengatakan buatan ibu saya tidak enak atau saya tidak butuh. Saya mengatakan bahwa saya tidak ingin ibu saya kecapekan. 

Kenyataannya memang tahun ini tidak ada kuker buatan saya maupun buatan ibu saya dirumah saya. Semuanya pemberian orang alias parcel. Itupun di hari ke-4 Lebaran, toples kastengel baru kami buka isolasinya karena kami sering bepergian. 

Jadi sebenarnya banyak hal yang tidak wajib tapi kita sendiri yang mewajibkannya dengan alasan sentimentil, perkara afdol dan nggak afdol. Hal-hal seperti itu bisa kita atur sesuai dengan kebutuhan saja. Hasilnya, tahun ini saya tidak sibuk di dapur membuat kuker maupun buru-buru ke rumah ibu saya demi membantu membuat ketupat opor. Bahkan karena konsumsi sudah dikepras banyak, kami cukup membuat sendiri sedikit ketupat dan bisa numpang pesan lontong ke tukang sayur yang menerima pesanan pembuatan lontong. 

Bagian terberat memang memutuskan antara yang wajib dan nggak wajib berdasarkan nilai sentimentil dan perayaannya. Tapi bagi yang sudah berlatih metode konmari, 5S, good housekeeping dan sebagainya mungkin sudah lebih tegas. Bagi yang belum, mulailah untuk tega agar Lebaran bisa dilalui dengan efisien dan happy.


BANGKRUT TAK BANGKRUT

Dapat THR tentulah senang, berarti ada ekstra 1 bulan gaji yang tak masuk dalam catatan bulanan ibu-ibu. Tapi setelah itu, setelah dibagi-bagi, kadang kok kurang juga. Sebagai contoh THR di keluarga saya untuk:

  • Dikirimkan ke orangtua.
  • Memberikan bingkisan kepada satpam kompleks, tukang sampah, tetangga terdekat dan beberapa orang yang sering membantu urusan kami. 
  • Zakat dan sedekah.
  • Mudik dan liburan. Mudik bagi saya wajib untuk membahagiakan orangtua. Sedangkan untuk liburan, kami sangat fleksibel. Kalau tidak memungkinkan, kami tak akan memaksakan diri antri di wahana untuk beli tiket meski hanya setengah jam, apalagi sampai berjam-jam demi sepiring makanan ngehits atau kuliner legendaris. Ini tak berarti kami bukan manusia pejuang, melainkan kami hanya mencoba untuk reasonable.

Kok sedikit? Jenisnya memang sedikit, tapi kalau diperinci banyak juga, terutama buat jalan-jalan itu. 

Angpao untuk anak-anak bagaimana? Di keluarga kami tidak ada tradisi memberikan angpao. Dulu sewaktu mereka kecil, kadang dapat dari budhe atau kakeknya tapi tidak selalu karena memang tidak ada agenda rutin. Puasa itu wajib dan mereka sudah besar. Tidak perlu hadiah untuk puasa dan ibadah yang baik seperti anak kecil yang masih latihan sehingga harus dipompa semangatnya. Kalau nggak baik, ya tabok aja kan kalau menurut ajaran. Heheheee.... 

Tapi bukan berarti mereka tak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan di hari raya ketika semua teman-temannya yang mendapat angpao royal belanja. Mereka bebas memilih resto kesukaan jika sedang jalan-jalan. Mereka juga mendapatkan banyak kelonggaran untuk membeli barang-barang yang sifatnya pernak-pernik atau hobi. Bendaharanya tetap saya. Jadi, meski tak ada angpao, bukan berarti mereka akan merana. Saya hanya ingin mereka paham apa itu kewajiban, yang tanpa hadiahpun mereka tetap harus kerjakan dengan sepenuh hati.

Akhir-akhir ini kami memang menggunakan dress code warna tertentu untuk berlebaran untuk memeriahkan suasana saja. Tapi budgetnya tak pernah masuk ke THR, melainkan ke uang bulanan awal Ramadan. Pada saat itu harga baju masih normal dan toko belum jubel-jubelan. Agar uang bulanan cukup, kami menyederhanakan menu buka puasa. Menu buka puasa kami tak berlebihan, normal saja. Kami juga tak banyak kegiatan sehingga tak banyak pengeluaran juga. 

Sebenarnya saya cukup beruntung tinggal di lingkungan yang santai, tidak harus apa-apa serba baru. Saya merasa sudah aman hanya dengan bersih-bersih. Jadi tidak perlu terlalu kencang ngekepin dompet. Ketika saya masih bekerja dan pelatihan di Singapura, orang-orang Melayu sana itu kalau Lebaran, serumah harus baru. Waktu itu selama 2 malam, saya menemani rekan kerja, seorang ibu-ibu, keluar masuk market untuk membeli korden serumah, sarung bantal, spei dan sejenisnya. Kata beliau, kebiasaan disana memang seperti itu, serba baru. Wah, kalau disini THR bisa langsung ludes. 

Tapi entah juga ya, karena toko-toko mebel di Magelang baru tutup pada saat malam takbiran. Itupun diakhiri dengan pengiriman beberapa set perabotan malam-malam. Sementara toko-toko, selain toko busana, umumnya malah tutup lebih awal. 

THR memang tak seharusnya dihabiskan langsung karena tak lama kemudian kita akan berqurban. Akan lucu sekali ketika Lebaran kita menghabiskan banyak dana untuk membeli ini itu dan jalan-jalan demi euforia hari kemenangan tapi tak lama kemudian kita menyatakan diri tak mampu berqurban.



KENAL NGGAK KENAL

Ada yang beranggapan bahwa kehidupan offline itu lebih menyenangkan dari online. Ya, benar! Tapi bagi sebagian orang, itu kecuali di waktu Lebaran. Saya dulu begitu, mungkin sekarang masih, hanya saja efeknya beda. Kalau dulu kebanyakan karena sakit hati, sekarang lebih banyak karena bosan. 

Ada beberapa jenis orang yang tidak menyenangkan ketika Lebaran:
  • Orang yang sukses tapi tak mau kalah. Orang sukses itu saja sudah bikin kita iri atau minder, jadi buat apa dia meninggikan diri lagi? Kok belum puas juga kalau bikin jleb orang lain?
  • Orang yang melihat hidup hanya satu arah. Setelah kuliah ya kerja, setelah kerja ya menikah, setelah menikah ya punya anak dan seterusnya lempeng saja.
  • Orang yang kurang wawasan. Ini antara lain dikeluhkan oleh teman-teman blogger, buzzer atau frelancer, ya?
  • Orang yang sudah tua dan mulai kehilangan kontrol.

Menghadapi teman yang sukses itu sering membuat undangan reuni kita lewatkan. Nggak pede. Karena kenyataannya memang tak semua orang yang sukses itu cukup rendah hati. Alih-alih bersimpati terhadap orang lain yang belum berhasil, malah tak jarang mereka punya pemikiran begini, "Padahal dia dulu brilian to, kok sekarang masih gitu-gitu aja?"

Belum lagi jika kemudian keluar tips-tipsya, "Makanya, yang penting itu banyak gaul, jangan belajar thok. Aku dulu bandel loh."

Padahal, banyak faktor seseorang itu tidak juga sukses. Mungkin dia pernah tertipu. Mungkin dia kurang beruntung. Atau mungkin memang itu sudah menjadi pilihannya, hanya definisi suksesnya beda. Ini kisah nyata tentang teman saya (laki-laki) yang sudah berada di jabatan manajerial provider seluler di ibukota. Demi keluarga yang sering ditinggalnya, dia mengundurkan diri dan banting stir ke usaha kuliner. Definisi sukses dia adalah jika bisa mendampingi anak-anaknya tumbuh.

Orang yang melihat hidup hanya satu arah itu memang sulit melihat kemungkinan-kemungkinan lain. Tiap deviasi dianggap sebagai kegagalan. Ini sungguh siksaan bagi yang tidak segera menikah setelah bekerja, yang tidak segera mendapat keturunan setelah menikah dan seterusnya. Padahal hidup itu memang penuh dengan liku. Ketika hidup tak sesuai dengan yang direncanakan, kita tak ingin mendengar komentar seperti ini, "Makanya, anak-anak aku suruh ambil jurusan yang saingannya tidak terlalu tinggi meskipun bisa masuk, supaya mereka bisa menonjol. Kalau menonjol, mereka akan lebih dibutuhkan."

Coba seandainya kalimat itu diubah seperti ini, "Wah belum bekerja ya? Jurusannya apa? Coba hubungi pak Abu. Siapa tahu disana sedang membuka lowongan, sepertinya kantornya cocok dengan jurusanmu. Bilang saja keponakan tante."

Kepo tapi solutif akan membuat orang lain nyaman karena fokusnya tidak di kegagalan tapi hanya menganggap itu sebagai proses yang belum berakhir. Sedangkan kepo yang berhenti setelah mendapatkan konfirmasi kegagalan seseorang itu kejam. Setidaknya kalimat-kalimat yang menghibur akan mengurangi beban, misalnya, "Nggak apa-apa, belum rejekimu. Tetap semangat ya. Tante bantu doa."

Paling kesal itu menghadapi orang yang kurang wawasan. Maka tak heran, setelah Lebaran bertebaranlah luahan perasaan sakit hati itu dari teman-teman freelancer karena freelancer memang sulit dipahami dari pihak luar. Seringkali orang memang tak cukup melihat kita sehat dan happy, mereka butuh bukti-bukti berupa harta, benda dan kedudukan.

Yang sekarang sudah saya maklumi adalah, seperti apapun hidup kita, orang akan tetap menanyakan hal yang tak terduga. Sekeras apapun kita berusaha, orang hanya akan melihat hasilnya. Setinggi apapun pencapaian kita, selalu ada jejak ketidaksempurnaan. Jadi buat apa saya bawa ke perasaan? Dulu ada masanya ketika saya menjawab dengan gaya Joan Collins yang anggun tapi judes dan datar. Sekarang saya hanya diam dan senyum karena ada yang lebih penting untuk dilakukan.

Jika saya mengalami kegagalan, pikiran saya dipenuhi oleh rencana-rencana untuk menutup kegagalan tersebut. Jika saya tidak sehebat teman-teman saya, maka saya akan fokus pada detil-detil apapun yang saya kerjakan, baik penting maupun tidak, baik menghasilkan uang maupun gratisan, agar pikiran tidak terseret ke hal-hal yang menyedihkan. Yang paling penting, fokus pada potensi yang dimiliki dan fokus menghasilkan progress. Buat apa capek-capek menjelaskan kondisi diri pada orang lain yang tidak bisa membuat keadaan kita lebih baik? Apalagi jika sebenarnya kita memang baik-baik saja. Persepsi orang tersebutlah yang menanggap kita masih memprihatinkan.

Memblokade pikiran dan perasaan tak nyaman itu memang sulit tapi bisa dilakukan agar kebahagian menurut standar kita tidak tergerus. Semua hal yang tidak menyenangkan itu jadi seperti kapas yang tertiup angin, gampang lenyap sebelum sempat nemplok ke diri kita.

Selain itu, coba lihat dari sudut yang berbeda. Tak jarang, orang yang tak menyenangkan itu sebetulnya orang yang gagal juga, tapi di hal lain. Tak ada orang yang sempurna. Tapi apakah kita harus membalasnya dengan pertanyaan tentang hal-hal yang tak dicapainya? Saya sih merasa tak perlu. Cukup tahu bahwa dia juga punya kekurangan sudah membuat pikiran saya merasa sejajar dengannya. Tak jarang malah saya merasa kasihan padanya karena dia menutup kekurangannya itu dengan menyakiti orang lain. Kekurangannya tetap ada, sementara dia menambah dosa dengan kata-kata yang tidak menyenangkan tersebut.

Yang patut diwaspadai juga, jangan-jangan kitanya yang sedang baper. Orang yang bermaksud mengajukan pertanyaan biasa jadi bisa terkesan mengorek-ngorek kekurangan kita kalau kita sedang baper.

Di jaman medsos ini, adik-adikku yang cantik jelita, bahkan sebagian berjilbab, dengan mudahnya memaki ketika kesal, "Sebel ditanya tante kapan nikah. Pengin jejelin mulutnya pake tesisku."

Kaget nggak bacanya? Mungkin dalam kondisi tidak sedang emosi, penulisnya juga akan kaget sendiri karena seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan berkata sekasar itu. Lagipula agama dan budaya kita mengajarkan untuk selalu menghormati orang yang lebih tua, siapapun dia, saudara atau bukan.

Baca: Celotehdi Media Sosial Menentukan Nasib Kita

Orang yang sudah tua memang seringkali menjengkelkan. Ada yang sukanya mengulang-ulang cerita yang sama, ada yang sulit dibelokkan pendapatnya meski salah, ada yang ngotot dengan caranya, ada yang ngambekan dan sebagainya. Mengapa tidak dimaklumi saja sih? Sebagian orang tetap punya pemikiran yang keren setelah menua, sebagian lagi mengalami penurunan. Itu sudah nature-nya. Kitapun akan begitu nantinya.


HIDUP MEMANG TAK SEMPURNA

Hidup memang tak sempurna dan kita ikut menyumbangkan ketidaksempurnaan itu. Maka tak perlu ngamuk-ngamuk jika ada yang membuat kita tak nyaman karena menunjukkan ketidaksempurnaan kita itu. Kasih senyum dan membiarkan kata-kata tersebut berhamburan dan lenyap seketika. Bisa juga kita belajar mengambil jarak. Suasana yang berjalan sejak bertahun-tahun akan tetap ada tahun depan. Mungkin butuh proses evolusi berpikir yang sangat lama untuk membuat orang tidak lagi melakukan hal-hal mubazir dan menyakiti orang lain secara verbal. 

Mentertawai diri sendiri seperti yang dilakukan netizen jomblo dengan membuat daftar pertanyaan atau meme mungkin bisa mengurangi keresahan. Namun tetap harus diingat bahwa medsos itu mulai dijadikan portofolio dibanyak kesempatan. Jangan memberi cerminan kita orang yang kasar.

Oke ya, jangan bete. Jangan biarkan suasana Lebaran menguap begitu saja. Hari ini kita sebel dengan mereka. 10 atau 15 tahun lagi, kita mungkin menjadi seperti mereka. Semoga itu tidak terjadi.


Post a Comment

15 Comments

  1. setuju mba untuk tidak berlebihan, malah saya masak ayam nya pakai bumbu lain bukan bumbu santan biar nggak enek makanan bersantan terus. Keep sharing, keep writing mba. Salam kenal ^^

    ReplyDelete
  2. Di keluargakupun tak ada tradisi angpau. Beberapa sepupu memang sering memberi, tp bukan tradisi juga.Jadi santai. Ha..ha..urusan kuker, tahun ini aku juga meminta ibu pakai jasa tetangga yg biasa bikinkan kuker aja. Harga bisa 2x lipat, tapi aku bilang, waktu dan energi ibu, jauh lebih berharga buat ibadah saja. Alhamdulillah, lebaran tahun ini makin santai dan kerasa nyamannya. Salam lebaran dari kami,Mbaklus. Maaf lahir dan batin.

    ReplyDelete
  3. Sepertinya perkepoan ini ngga cuma terjadi saat hari Raya mbak. Kapanpun saat mereka bertamu ke rumah atau ketemu kita setelah sekian lama. Disenyumin aja, karena kalau mulut mangap takutnya malah berkata kotor hahahha

    ReplyDelete
  4. Aku tahun ini blas ga bikin kuker. Kata si bapak, selow aja Mi, rasah koyo dikotak hahahaha

    ReplyDelete
  5. Hahahaha mbaaa.. beneer Banget! Dulu jaman di tanah air aku sih senyumin aka kalau ada pertanyaan ajaib begitu. Di sini.. kami amaaaan dari aneka pertanyaan itu huahahaha.. tapi teuteup ditagih THR

    ReplyDelete
  6. Lebaran ini aku cuma masak kari sama ketupat aja di rumah. Kue-kue seadanya dan beli, itu juga ga banyak. Ngabisin waktu soalnya kalau bikin. Jadi hidangan lebaran kerasa istimewa banget karena di rumah cuma ada di hari pertama. Soal angpau aku juga ga tentu selalu ngasih pas lebaran, dikasih (apa?) pu jarang pula sejak kapan gitu. Entahlah kalau nanti ponakan tambah banyak ya hehehe

    ReplyDelete
  7. setuju mbak, makin ke sini makin berkurang jor2an lebaran
    anak2 pun tak heboh lagi minta baju baru he.. he.., lebaran sederhana masih tetap berkesan

    ReplyDelete
  8. bener juga mbak. yang harus dikondisikan hati kita. kalo orang lagi baper,ditanya apapun dengan maksud baik pun tetep kesal dan sakit hati. pun sebaliknya, mau diomongin model apapun kalo hati kita lagi adem ya gak ngefek.hehehe... alhamdulillah lebaran kali ini gak dapat pertanyaan macem2.

    ReplyDelete
  9. Bener banget soal lebaran masak banyak. Ibuku tipe itu. Kue lwbaran juga beragam. Tapi beberapa taun terakhir mulai kusentil dan cukup berubah

    ReplyDelete
  10. Hari ke dua..dah mbuat mie instant mba☺☺. Yang di meja tamu..THR dr kntr suami semua. Paling males adalah saat ktmu keluarga besar suami trus ada yang nanya.. "Sekarang kerja apaan, msh di rumah? Nggak nyambi?"

    ReplyDelete
  11. Saya malah sejak awal puasa sudah membatasi masakan dan takjil nya mba. Pas lebaran masak juga secukupnya, kalau tamunya ga kebagian ya begitulah rejeki. Toh nggak semua tamu harus makan kan? Lebaran kan bukan kondangan...heee

    ReplyDelete
  12. Yes. Sama.
    Sebenarnya kalau saya baca medsos, saya anggap lelucon aja sih mbak. Saya nggak ngerti kalau yang nulis serius berkeluh kesah.
    Saya tipe yang sangat menyukai Ramadhan dan lebaran dari sisi nggak banyak masak dan nggak borosan. Saya pikir kalau masak memasak percuma juga, toh saat berkunjung nanti disuguhi makanan. Baju lebaran apalagi, baju saya sih baru semua. Baru dicuci ama baru disetrika. Udah gitu aja. Yang penting lebaran hepi.

    ReplyDelete
  13. bagian kuker bedaa. di rumah sering ga kebagian gara2 ibu pinter bikin kue. jd tamu yang dateng suka bawa pulang. ga tanggung2 pernah ada yg bawa maksa setoples >.< ihiksss...

    yang lain2nya sepaakaat hahaa. maaf lahir batin makluss :))

    ReplyDelete
  14. Ehm ehm...sebetulnya ini rahasia ya. Yg sukses tapi sering jatuh cenderung bangga-banggain kesuksesan sebetulnya karena dia harga dirinya tidak cukup tinggi bahkan untuk bagi dirinya sendiri. Makanya butuh pengakuan dari orang lain juga. Kasian lho sebetulnya mak. Apalagi mereka sudah sampai dititik itu. Yang sehat adalah mereka sukses tapi biasa2 aja....jadi woles saja

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah bisa melewati hari raya dengan emosi yang terkendali krn banyaknya orang yang nanya apakah saya sdh hamil apa belum. Tarik nafas. Hembuskan. Lalu senyum meringis.

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)