Persaingan Frontal Pertama

Persaingan antara Coca Cola dan Pepsi sudah melegenda, berlangsung sekian lama dan menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi keduanya. Di Indonesia, persaingan seperti ini sangat jelas tampak dibisnis telepon selular, dari mulai aplikasi sampai cara beriklan. Persaingan memang tidak selamanya mematikan pihak-pihak yang bertarung, kadang justru semakin membuat pihak-pihak tersebut menggali kreatifitas dan tampak semakin menarik bagi konsumen. Tapi saya tidak mengira itu akan terjadi pada Ladaka Handicraft, di umur yang masih muda dan masih lebih kecil dibandingkan usaha mikro.

bisnis online
Photo by Ketut Subiyanto from Pexels

Di Pekanbaru, Ladaka Handicraft termasuk, salah satu dari  tidak lebih dari lima jari yang berani masuk ke dalam mal. Dan mungkin Ladaka Handicraft adalah satu-satunya yang berani total di kerajinan selama berada di dalam mal. Toko kerajinan yang jauh lebih besar ada beberapa diluar mal. Saking besarnya bahkan ada yang sampai punya beberapa cabang. Sedangkan yang berada didalam mal masih menyelipkan beberapa produk fashion untuk bertahan.

Setiap orang yang mengenal saya selalu bertanya, memangnya penghasilan di mal bisa menutup semua biaya operasional mengingat sewanya yang mahal dan terbatasnya produk yang saya jual. Jujur, penghasilan di mal naik turun mengikuti musim liburan dan gajian. Tapi sebagai pengusaha tentu kami mencari cara lain, yaitu penjualan online. Offline dan online saling mendukung karena offline itu sebagai jaminan bagi yang kurang percaya kredibilitas online kami, sedangkan online itu untuk mempercepat informasi tentang kegiatan offline kami.

Maraknya bisnis online ini selain mendatangkan keuntungan lebih cepat juga mengundang persaingan yang tidak sehat. Sebenarnya para pemilik toko online bisa bekerjasama, misalnya memerlukan produk tertentu sesuai pesanan pelanggan tapi tidak memiliki stock, bisa dibantu pemilik toko lain agar tidak ada rejeki yang lewat begitu saja meski marjin harus dibagi dua. Nyaris sama antar sesame kios buku di pasar buku  misalnya, hanya medianya saja yang berbeda. Sayangnya, kerakusan manusia sering merusak kesempatan untuk bekerja sama.

Seorang produsen kerajinan di Jogja yang memiliki situs yang cukup bagus, menginvite BB saya di 22472F19 dengan mengidentikan dirinya sebagai calon pembeli. Semua pertanyaannya tentang harga-harga saya jawab seperti saya menjawab calon pelanggan saya lainnya. Demikian pula ketika saya membuat group BBM untuk update foto-foto produk saya, orang ini mengajukan diri pertama kali dan tampak paling antusias. Didalam group, orang ini mendesak dengan pertanyaan seputar workshop saya. Dia berkeras seolah akan datang, dan memojokkan saya seolah hendak menunjukkan pada member lain bahwa saya hanya pemilik toko online ecek-ecek saja. Dari sini saya mulai curiga.

Saya berkoordinasi dengan partner saya dan kami sama-sama heran dengan sikapnya. Setelah saya giring ke chat pribadi, baru terbuka ternyata dia bukan calon pelanggan, melainkan sama-sama produsen dan penjual. Dia bahkan menawari saya produk-produknya karena yakin saya hanya reseller dropship saja. Saya mulai menyelidiki orang ini. Partner saya tidak kenal, tapi tahu, dan dulu karena pesanan tak teratasi hampir order di tempat ini tapi tidak jadi karena buatannya kasar dan harganya tidak sesuai dengan mutunya.

Belum sempat saya sadari apa maksud orang ini memojokkan saya dan kemudian berbelit-belit, tiba-tiba saya dikejutkan dengan posting-an foto produknya di group saya dengan harga seperti harga saya. Entah berapa lama postingan tersebut disana karena sepanjang hari itu saya tidur lantaran tidak enak badan, dan entah sudah berapa pelanggan saya yang di add dan tertarik dengan produknya. Karena pada dasarnya saya tidak suka konfrontasi, maka tindakan saya adalah me-remove foto dan contact list orang tersebut.

Meski sudah pernah menghadapai tentangan jaringan toko batik terbesar di Indonesia ketika masuk mal, meski pernah gemetar juga ketika tahu saingan yang punya toko diluar disuplai dua truk tiap bulan dari Jogja, tapi inilah persaingan frontal pertama saya. Inilah pertama kalinya saya menghadapi saingan yang mencuri pelanggan saya didepan mata saya.

Panik menghadapi saingan akan membuat kita salah langkah, kehilangan ide dan bingung dengan identitas diri. Itu yang berusaha kami hindari. Setiap usaha, mini maupun raksasa suatu saat harus menghadapi persaingan frontal. Namun, kita tidak boleh mengikuti arus saingan agar identitas usaha kita atau brand kita tidak kehilangan kekhasannya. Meski saingan bisa mencuri design dan pelanggan kita, mereka tak akan bisa mencuri yang masih tersimpan di otak kita. Lebih baik fokus menggali diri sendiri.

Post a Comment

0 Comments