Ne Brapaan Sis?

Saya sudah lama terjun didunia kerajinan. Hanya saja, dulu karena saya bekerja disebuah perusahaan besar, semua serba resmi, baik dalam cara kami mempresentasikan produk maupun cara kami berkomunikasi dengan klien. Ketika saya memiliki usaha sendiri, gaya kantoran itu masih terbawa. Dalam berbagai hal, misalnya membuat purchase order, invoice atau inventory, pengalaman tersebut sangat membantu. Sayangnya, karena pengrajin masih banyak yang tradisional dan pelanggan banyak yang maunya praktis saja, hal-hal yang sebenarnya rapi dan menghindarkan kesalahpahaman itu tidak berguna.

marketing communication via facebook
pic from pixabay

Untuk menyiasati perbedaan tersebut, mulailah saya mempelajari gaya sales retail saat ini. Karena sekarang hampir siapa saja bisa jadi reseller, akhirnya tata karma bukan lagi soal, yang penting komunikatif dan nyambung. Pertama-tama yang harus saya biasakan adalah panggilan ‘sis’, panggilan akrab untuk sister. Ini dilatarbelakangi banyaknya reseller yang perempuan.

Dari situ saya masih bisa menerima. Tapi lama-kelamaan jadi aneh ketika pelanggan saya yang ABG memanggil saya ‘sis’. Lebih geli lagi ketika saya membuka fanpage batik yang saya tahu pemiliknya adalah laki-laki, juga dipanggil ‘sis’ di komen statusnya. Meskipun bisa saja dia menggaji pegawai perempuan, tapi saya tetap merasa aneh.

Tidak seperti penjual baju-baju, tas dan sepatu fashion yang saya sinyalir memulai kebiasaan panggilan ‘sis’,  dunia kerajinan dihuni laki-laki dan perempuan sama banyaknya. Bisa saja bapak-bapak brewokan memproduksi gamis batik atau ibu-ibu memproduksi kerajinan batu. Panggilan sama rata membuat dunia jualan online seperti tidak serius. Namun demikian, seperti teman saya menasehati, orang jualan itu tidak perlu tinggi hati, yang penting omsetnya yang tinggi.

Suatu ketika, saya bermaksud membeli busana muslimah di fanpage teman saya. Ketika sedang memilih-milih baju, saya sempat membaca beberapa komen.

“Mbak, yang hitam ada?”

“Bunda, saya milih sendiri saja, ya. Nanti sore kesitu.”

“Budhe, mamaku minta yang merah.”

Aaah…. Terasa lebih menyenangkan bukan komunikasi seperti itu? Coba bandingkan dengan yang ini.

“Ne brapaan sis?”

Post a Comment

0 Comments