There Comes Janice

Ada yang suka nonton Asia’s Next Top Model? Tahu Janice dong, peserta yang paling disebelin oleh semua peserta lainnya? Meski itu adalah ajang pemilihan model atas nama pribadi, tidak mewakili negara, rasanya jengah sekali Indonesia melekat di karakter yang antagonis seperti itu. Selama ini di sekolah-sekolah, kita ditanamkan identitas diri sebagai bangsa yang paling ramah didunia.

emosi di keramaian

Ketika pertama kali saya melebarkan perkenalan di socmed diluar teman-teman sekolah, eks sekantor dan tetangga, yang ada adalah rasa kaget. Pelajaran IPS sama sekali tak tercermin dalam pergaulan dunia maya. Saling sambar, saling nyinyir, saling sindir bahkan saling maki seperti hal yang lumrah saja. Entah landasannya agama atau persamaan derajat, semua orang merasa paling benar dan paling suci. Adu mulut dalam bentuk tulisan itu sama frontalnya seperti yang dilakukan oleh Janice.

Dunia nyata tak kalah serunya. Makin sering kita bertemu orang, makin banyak yang penuh muslihat, asal galak dan sebagainya. Makin lama dunia nyata mengajarkan untuk tidak terlalu percaya orang lain dan mengejar, kalau perlu mendesak, agar kemauan kita tercapai. Kalau karakter kita lembek, bisa kena tipu dan kena libas habis-habisan.

Jadi sebenarnya Janice adalah diri kita sendiri yang selama ini kita tutup-tutupi dengan pelajaran IPS. Karakter yang amit-amit itu kita balut dengan senyum super manis dihadapan turis atau orang asing. Maka tak heran jasa pelayanan seperti transportasi, perhotelan, dan sebagainya bermuka dua, menyebalkan dengan warga sendiri tapi ramah luar biasa pada orang asing. Janice kelihatan aneh karena dia berani bersikap seperti itu pada orang asing.

Berarti Janice hebat? Tentu tidak! Pada akhirnya Janice dimusuhi. Sekalipun dia bertindak benar, karena orang lain sudah apatis, akhirnya selalu dianggap salah. Padahal sebenarnya tak seluruh sikapnya itu provokatif tapi banyak pula yang maksudnya demi alasan praktis, sayangnya tidak disampaikan dengan baik.

Ketika kita berada dalam pusaran emosi dan individualitas yang tinggi ditengah sebuah kelompok, tingkat menyebalkan kita akan semakin terangkat, tak peduli maksud kita sesungguhnya apa. Mungkin yang bisa dilakukan adalah berdiam sejenak tanpa perlu mengisolasi diri. Komentar yang fokus pada subyek yang paling penting mungkin bisa mengerem tereksposnya karakter yang kurang menguntungkan.

Apa yang sudah tercetus sulit untuk ditarik kembali. Kesan orang lain terhadap karakter kita akan sulit untuk diubah. Jika sudah telanjur, ya sudah, tarik diri untuk melakukan perbaikan sedikit demi sedikit. Jika belum terjadi, jaga baik-baik, tak perlu memaksakan diri masuk dalam lingkungan tertentu. Gusar dan tergesa-gesa akan merugikan diri sendiri.

Ketenangan adalah kekuatan. Lao Tze.

Post a Comment

0 Comments