Nikmat Mana, Ikut Pameran, Punya Outlet Atau Bikin Olshop?

Setelah pernah punya outlet toko offline, bikin olshop atau online shop dan ikut pameran, sebenarnya nikmat mana sih?

inacraft


Saya lebih senang dengan istilah nikmat daripada enak karena semua ada enak dan tidak enaknya. Namanya juga usaha, selalu ada tantangan di tiap langkah. Kenikmatan itu tercipta ketika kita tetap punya semangat untuk bergerak meski keadaan sedang tidak enak atau sedang susah. Biarpun capek dan banyak halangan, jika masih punya semangat untuk terus melangkah, berarti kita masih bisa menikmati ritmenya. Tapi jika melihat tumpukan produknya atau melihat to do list nya saja sudah males, berarti sudah tidak nikmat lagi.

Jadi, beberapa hari ini saya belum sempat membuat tulisan tentang karya DIY atau craft. Ada beberapa pesanan @beyouprojects yang harus saya kerjakan. Padahal kecepatan saya masih seperti siput. Jam terbang saya belum terlalu tinggi. Semoga jika pesanan yang masuk sudah stabil, bisa bekerja sama dengan teman-teman crafter. 

Saya mengenal craft sejak bekerja pada eksportir dulu. Jadi saya punya pandangan global lebih dahulu sebelum menyempit ke jualan sendiri sampai akhirnya tambah sempit dengan membuat sendiri. Sempit disini dalam artian beban kerja, volume dan omzet tentunya. 

Ketika bekerja di eksportir, saya tidak mengikuti produksi secara detil karena bukan bagian saya. Saya hanya terlibat di bagian development dan ketika sudah siap kirim ke seluruh Eropa. Ketika berjualan sendiri, saya malah lepas tangan dari produksi. Saya hanya memberikan design dan tahu jadi. Kadang saya malah menguras stok di pengrajin saja, tanpa peduli produk itu ide siapa. Sekarang, saya berada di scope terkecil yaitu bikin sendiri, pajang sendiri dan jualan sendiri. Tentang perbedaan-perbedaan ini akan saya ceritakan kapan-kapan, ya. Kita fokus ke judul dulu.

Ketika saya resign dan berusaha sendiri, saya memulainya dengan ikut pameran. Yang saya pamerkan adalah produk kerajinan yang saya pilih dari beberapa pengrajin. Istilah kerennya, hand picked by me. Usaha ini berkembang sampai saya punya outlet tetap di dua mall suatu kota di Sumatra tapi tidak dalam waktu bersamaan. Didunia ini tak ada yang abadi dan kita harus selalu siap beradaptasi dengan perubahan. Kami harus pindah ke Jawa sehingga terpaksa outlet saya tutup. Dalam masa tenggang menunggu pindah, saya sempat buka home gallery seadanya. Lumayan juga ada yang datang.

Itu cerita lalu. Sekarang saya lebih banyak dirumah. Rasa kangen menjalani hidup yang sedemikian dinamis itu tentu saja ada. Makanya saya menulis artikel ini. Rasa kangen itu muncul ketika saya mendedel tas serupa Anello backpack yang sudah saya kerjakan selama 3 hari. Wujudnya bisa dilihat di instagram @beyourselfwoman, ya.

IKUT PAMERAN

Saya sangat suka ikut pameran. Pameran pertama yang saya ikuti hanya berlangsung setengah hari dengan membayar Rp 50.000,- di halaman sebuah perpustakaan. Keuntungan saya cukup banyak tapi tak berupa uang karena pengunjung perpustakaan itu bukanlah orang-orang yang konsumtif. Lha? Apa dong? Keuntungan pertama saya adalah jejaring ibu-ibu yang sering ikut pameran dan private concert Arie Lasso. Rupanya perpustakaan tersebut mendapatkan sebuah penghargaan dari sebuah brand rokok. Arie didatangkan kesana untuk shooting semua lagunya dengan 2 panggung, satu panggung full band dan satu panggung akustik. Saya merasa menjadi bagian dari sekelompok crazy rich bakoels yang membayar artis top lengkap dengan bandnya hanya untuk menemani saya dan geng ngopi-ngopi.

Dari jejaring itu, saya mendapat info stan pameran dimana-mana. Kadang kami patungan menyewa satu stan bersama. Kadang saya tidak ikut pameran, tapi produk saya mereka bawa. Kadang saya ikut pameran tapi barang kurang, jadi saya pinjam produk mereka. Dari awalnya cuma sewa tempat Rp 50.000,- lama-lama saya bisa sewa lapak sehari Rp 700.000,- di mall dan seterusnya. Dari yang awalnya takut rugi, lama-lama saya berani menyewa hanya dengan punya uang untuk DP saja dan harus dilunasi di hari akhir pameran. 

Karena sudah terasah, jadi semacam punya perkiraan apakah di akhir pameran nanti akan bisa terbayarkan. Jika perkiraan meleset, di hari pertama pameran kita sudah merasakan, lalu buru-buru mengambil langkah penyelamatan untuk meramaikan stan. Sekarang sih, insting tersebut sudah tumpul karena lama tidak digunakan dan jaman sudah banyak berubah. Cara ini memang secara manajemen salah besar ya. Tapi jika sudah di lapangan, mendadak fungsi kalkulator cash flow rusak, ketutup insting.

Ikut pameran itu membuat adrenalin dan kreativitas sangat tinggi karena waktunya sangat sempit untuk kembali modal, apalagi untung. Belum lagi sebagai ibu, saya punya tanggung jawab ke anak-anak. Pameran terlama yang pernah saya ikuti adalah selama 25 hari di bazaar Ramadhan. Rata-rata 3-4 hari dari pertengahan hari kerja hingga akhir pekan. Belum lagi loading barang yang harus larut malam setelah mall tutup dan biasanya saya mengangkat barang, termasuk rak, seorang diri menggunakan trolley, lalu menyetir pulang sendiri juga.

Dengan durasi pameran yang terbatas, ketersediaan produk menjadi sangat penting. Pernah dalam suatu bazaar Ramadhan yang saya ikuti selama 25 hari, saya hanya punya waktu 7 hari untuk mengejar omset gara-gara produk yang saya pesan puluhan koli tidak datang tepat waktu karena as truk yang membawanya patah ketika melintasi suatu jalan di kawasan hutan. Celakanya, si kurir tidak cekatan atau mungkin modal cekak sehingga tidak berinisiatif menjemput barang-barang tersebut ke lokasi kejadian, melainkan menunggu mekanik dan sparepart untuk membetulkannya disana. Dengan muatan penuh, pasti butuh waktu yang lama pula untuk mengatasinya.

Meski begitu, saya sangat menikmati berjualan di pameran. Mungkin saya masih lawas ya, jadi suka menerima uang dalam bentuk nyata. Hahahaaa.... Nikmat begitu uang kertas menyentuh tangan lalu menghitungnya, terus menuliskannya di kwitansi. Aih! 

Kenikmatan utama dengan ikut pameran adalah nyaris tak ada komplain dari pembeli meski barangnya cacat. Jika ada diskon karena cacat, saya tunjukkan dimana cacatnya. Selesai! Jika ada pesanan yang harus diselesaikan setelah pameran, penjual bisa mengakrabkan diri dulu dengan pelanggan ketika bertemu di pameran.


Jaman dahulu, pemilik stan akrab satu dengan yang lainnya. Saya sering menitipkan stan jika harus menjemput anak-anak dari sekolah. Saya sering harus mengasuh anak-anak sambil menjaga stan. Sepertinya mustahil jika dibayangkan, tapi jika dijalani, akan berlalu juga. Mungkin kenikmatan seperti itu agak sulit dilakukan di jaman sekarang ketika pameran di mall didominasi anak-anak muda yang sangat serius mengamalkan ilmu-ilmu marketing modern tentang branding dan segala perhitungan-perhitungan lainnya.

PUNYA OUTLET

Mengapa waktu itu terpikir untuk punya outlet? Karena makin hari produk saya makin banyak seiring dengan meningkatnya omset. Saya harus merayu petugas pameran mall agar mengijinkan loading 2 kali, malam setelah mall tutup dan pagi sebelum mall buka. Saya juga butuh asisten agar lebih banyak pengunjung yang terlayani. Agak sulit mencari asisten hanya untuk 3-4 hari pameran. Umumnya mereka menginginkan pekerjaan tetap. Saya pikir, dengan outlet saya bisa berusaha dengan lebih tenang.

Pada saat itu saya juga mulai mengenal online shop sehingga saya pikir akan lebih mudah dan terpercaya jika dalam materi promosi, saya punya alamat showroom.


Sewa outlet sebulan jika dibagi 30 hari memang lebih murah dibandingkan sewa per hari pameran, meski maintenance charge-nya besar. Tapi ternyata masalahnya bukan itu. Posisi outlet yang sewanya murah itu tidak sestrategis stan pameran. Biasanya outlet murah itu ada di lantai atas atau underground lobby. Sedangkan pameran berada di atrium utama. Tentu saja omset lebih gencar ketika pameran. Saya pernah buka stan di atrium untuk bazaar Ramadhan meski diatas sudah punya outlet dalam waktu bersamaan demi mengatasi hal itu.

Memang, outlet membuat saya tenang karena tidak sampai kewalahan seperti ketika pameran. Tapi itu enggak nikmat juga karena stress memikirkan sewa dan gaji asisten rutin yang harus dibayar. Mungkin harusnya dibalik, kuasai pasar online dulu baru buka outlet. Entahlah. Saya bukan pakar marketing.

Ketika menunggu waktunya pindah, saya sempat membuka home gallery seadanya daripada sisa jualan menghuni kardus. Ternyata pelanggan-pelanggan di mall mau datang ke rumah meski tidak banyak. Waktu itu saya memang menyebar alamat di kalangan terbatas saja karena masalah keamanan. Jadi sebenarnya outlet itu tidak harus mentereng, asal sudah punya pelanggan dan mengerti kebutuhan mereka. 

Saya sih masih pengin kok punya outlet lagi tapi di lahan sendiri dan terpisah dari rumah sehingga tidak pusing dengan argo uang sewanya dan kehidupan pribadi tetap nyaman.

BIKIN OLSHOP

Olshop atau online shop itu suatu keniscayaan di zaman sekarang. Semua orang bisa membuat akun olshop dalam semenit di instagram atau menjadi seller di e-commerce. Tak perlu lagi repot-repot membuat website jika memang belum mampu. Produk? Halah, pura-puranya punya juga bisa kok tanpa harus secara official mengaku dropshipper.

Saya sudah 2 kali punya online shop. Yang pertama lumayan meski followers tidak fantastis karena saya banyak mengerjakan pesanan dalam jumlah besar untuk kantor-kantor. Yang eceran atau bijian malah tidak terlalu kencang. Entah mengapa. Pesanan rumah tangga baru naik tajam 2 bulan jelang Lebaran. Tapi tetap saja mereka pesan dalam bentuk set, bukan eceran.

Awalnya saya bertindak sebagai dropshipper. Tapi tak lama karena saya tak puas tidak bisa mengecek kualitas barang yang dikirim sebelum dibungkus. Jika ada komplain dari pembeli, saya seperti bola yang ditendang kesana kemari. Akhirnya saya cuma mau menjual produk eceran yang sudah melalui tangan saya. Memang ada pemotongan margin yang terpakai untuk delivery dari pengrajin ke saya. Tapi sejak itu saya bisa menjawab semua komplain seperti seharusnya. Sedangkan untuk produk dalam jumlah banyak, saya yang datang ke pengrajin untuk melakukan pengecekan sebelum dikirim. Jika tidak memungkinkan, saya minta beberapa foto dari beberapa sudut yang saya kehendaki.

Jadi, saya bukan penganut aliran buka olshop tanpa modal.


Sayang ini tidak bisa saya pertahankan karena saya tidak menguasai produksinya. Beberapa schedule meleset jauh dengan alasan yang tidak masuk akal bagi saya, misalnya kondangan. Pernah ketika musim Lebaran beberapa tahun lalu, ada PO yang tidak berhasil diselesaikan. Pelanggan ngambek dan tidak kembali lagi karena bayangan mereka punya rumah dengan interior bernuansa tertentu tak berhasil saya penuhi. Padahal orangnya baik sekali. 

Saat-saat terakhir saya bekerjasama dengan mereka diliputi banyak kekecewaan selain schedule yang sering meleset, yaitu sikap tidak fleksibel terhadap model-model baru. Maunya mereka mengerjakan model-model lama yang secara borongan akan lebih menguntungkan karena mereka sudah terlatih ratusan kali. Tapi ya gimana yaaa.... kan sudah tidak tren lagi, sudah banyak yang bikin, sudah basi, harus ganti model.

Jadi sekarang saya mencoba hal baru, yaitu produksi sendiri melalui @beyouprojects. Tentu saja saya tidak berencana seperti itu selamanya karena dengan kapasitas saya yang terbatas, akan sulit berkembang. Suatu saat nanti, saya ingin bekerjasama dengan teman-teman crafter lain atau mengupah pengrajin untuk mengerjakan suatu pesanan. Tapi yang jelas, saya harus menguasai dulu produksinya sehingga jika terjadi sesuatu, saya tidak senewen sendiri ngomel kesana kemari semantara masalahnya tidak terselesaikan.

Sementara waktu, saya masih menikmati apa yang saya lakukan sekarang, belajar menjadi crafter yang baik dan sesekali melempar produk ke akun @beyouprojects. Saya juga sudah mulai mengerjakan beberapa pesanan teman-teman dan saya berusaha menjawab sejujurnya, mana yang sudah bisa saya kerjakan dan mana yang belum. Waktu pengerjaan belum bisa cepat. Kalau mau cepat, beli saja yang sudah terpajang di @beyouprojects. Teman-teman bisa mengikuti kegiatan saya berproses tersebut melalui blog beyourselfwoman ini atau akun instagram @beyourselfwoman.

Stok karya saya untuk dijual makin bertambah meski belum banyak. Ini membuat saya kangen masa-masa ikut pameran. Kangen itu untuk dituntaskan, bukan? Semoga ada kesempatan pameran lagi yang bisa dinikmati seperti awal-awal saya pameran dulu, ya. Ada amin?

Post a Comment

4 Comments

  1. Amin, semoga ada kesempatan untuk pameran lagi.
    Senang pastinya ya, apalagi karya sendiri.
    Kalo aku awam deh masalah bisnis2 seperti ini hehehe. Tapi ikut senang rasanya kalo melihat teman membuat suatu karya dari yang cuma dikit lama2 makin banyak yg pesan, ikut pameran, produk makin dikenal. Dan untuk menuju kesana pasti ada suka duka nya yg harus dilalui. Semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mengaminkan mbak. Doa yang baik dariku untuk mbak juga. :)

      Delete
  2. Dropshipper itu masalahnya krnga melihat sendiri brgnya sih yaaa.temenku jualan sistem begitu, tp aku ga prnh nanya juga sih seperti apa komplain yg srg dia hadapi. Krn kebanyakan yg ditulis di sosmednya, bagian yg bagus2 aja :D. Dulu aku sempet mau sampingan aja jualin brg pake sistem dropshipper. Tapi dipikir, aku sendiri ga tau brgnya, kok kyk jual kucing dlm karung. Jd aku putusin, kalo mau jualan, aku hrs tau dulu seperti apa brgnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkk iyalah kalau di socmed mah isinya kisah sukses. Kalau ada pun isinya nyinyirin pembeli cerewet.

      Delete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)