Misteri Dibalik Layar (Tamat)

panggung
Photo by Monica Silvestre from Pexels

Peristiwa pembunuhan Mudhoiso, pemeran Cakil, segera ditangani Inspektur Suzana. Yang pertama kali diinterogasi tentu saja pemeran Arjuno, Rikmo Sadhepo. Rikmo membetulkan bagian depan dasternya yang sudah amoh. Bayu sudah kekenyangan mimik ASI, tapi Bayu belum mau melepas ibunya. Rikmo mengambil jarik, lalu menggendong Bayu yang terus-menerus merengek.

“Saya ndak ngerti bu. Keris itu harusnya bisa mingslep separo kayak keris tukang sulap gitu. Biar kelihatan tenanan yo harus diantemkan di leher gitu. Tapi harusnya ndak bisa nancep.”

“Keris itu kan kamu sendiri yang menyiapkan to?” tanya Inspektur Suzana sambil memicingkan mata penuh curiga.

“Betul bu. Tapi saya ndak tau kenapa bisa begitu. Sumpah, bu!”

“Sudah berapa tahun kamu jadi Arjuno?”

“Woh sudah lama, sejak saya masih prawan. Kira-kira ya tiga tahun. Wong saya itu begitu diterima disini langsung jadi Arjuno, ndak seperti yang lain harus nyantrik jadi penari latar dulu sejak kecil.”

“Berarti kamu menikah dengan pak Sokowono tak lama setelah itu ya? Bu Sokowono langsung setuju begitu saja?”

“Bu, saya itu diterima disini langsung jadi Arjuno bukan karena pak Sokowono suka sama saya tapi karena saya memang wasis jadi Arjuno. Waktu itu Arjuno sebelum saya sudah sakit-sakitan karena TBC, ndak boleh lagi mayang malam-malam. Bu Sokowono itu orangnya ndak macam-macam, baik, pendiam, yang penting tobong wayang orang ini jalan terus. Saya itu mau diperistri pak Sokowono soale timbang saya diganggu cah-cah wayang sini , bu.”

“Bukannya biasanya tobong itu sudah seperti keluarga besar, saling menjaga?”

“Wah, selama ndak ada hubungan darah, laki perempuan sering ketemu bareng malam-malam meskipun untuk mayang, ya lama-lama ndak slamet juga.”

“Sebelum mentas, siapa saja yang ada disekelilingmu? Kamu ndak mungkin ngrias bareng lainnya kan? Kamu kan Arjuno, istri pemilik tobong pula.”

“Ya ndak, bu. Saya ada kamar rias sendiri, tapi ndak pernah saya kunci. Banyak yang keluar masuk juga. Semalam itu saya ndak ingat siapa saja yang keluar masuk. Tapi yang pasti ada itu lik Jan, Semrintil dan Palingo.”

Inspektur Suzana berdiri, lalu memerintah anak buahnya dengan tegas, “Cari dan bawa sini lik Jan, Semrintil dan Palingo.”

“Siap! Laksanakan!”

Inspektur Suzana memandangi ketiganya lekat-lekat sampai mereka salah tingkah. Meski laki-laki, lik Jan dan Palingo diperbolehkan selalu ada di kamar rias Rikmo karena mereka tidak tertarik dengan perempuan. Penampilan mereka yang kemayu nggemesi, membuat Rikmo terhibur. Mereka juga andalan Rikmo untuk urusan merias dan mengenakan busana Arjuno. Semrintil sendiri lebih banyak mengurusi hal-hal sepele seperti makan minum Rikmo, pernak-pernik perlengkapan mayang Rikmo dan biasanya juga nggendong Bayu gantian dengan mbak Paikem, tukang masak tobong.

“Jadi kamu yang membunuh Mudhoiso. Mengapa?” tanya Inspektur Suzana sambil menatap lurus ke arah Palingo.

“Ndak, bu. Bukan saya. Sumpah, bu.”

“Sumpah opo? Makanya jangan malas mandi. Ini brewoknya Cakil ada yang nempel dibajumu. Kamu kan semalam ndak ada urusan dekat-dekat dengan Cakil atau Mudhoiso?”

Palingo langsung lemas, lalu ndeprok di lantai menangis sesenggukan.

“Arjuno itu laki-laki tampan tapi alus solah bawane. Karena sulit mencari laki-laki yang seperti itu, makanya sering perempuanlah yang dijadikan Arjuno. Tapi Mudhoiso bilang, saya cukup tampan dan alus untuk jadi Arjuno. Saya mau saja ketika diajak kesini dengan harapan kelak saya akan jadi Arjuno. Tapi setiap saya mau maju ke pak Sokowono untuk minta di tes nari, Mudhoiso selalu bilang, nanti dulu, belum saatnya, latihan dulu yang banyak. Sudah hampir dua tahun seperti itu, saya sabar, sampai kemarin Mudhoiso bilang mau ninggal saya, mau kawin. Tadinya saya ikhlas, meskipun selama ini gaji sayapun saya berikan semua pada Mudhoiso. Tapi saya ndak kuat lagi ketika dia bilang, sebenarnya saya itu ndak pantes jadi Arjuno. Arjuno kok itheng jengges. Dia tertawa-tawa meledek saya. Saya sakit hati, bu. Kalau Rikmo dipenjara, saya yakin bisa jadi Arjuno, bu.”

Inspektur Suzana mengeleng-gelengkan kepala. Ternyata kisah dibalik layar bisa sama serunya dengan kisah diatas panggung. Palingo diborgol anak buah Inspektur Suzana, lalu dibawa ke kantor polisi. Wartawan berebut menyodorkan alat perekam ke depan mulut Inspektur Suzana yang berbibir tipis seperti kue lapis. Inspektur Suzana yang ayu, atletis dan berambut pendek keemasan itu berhenti sebentar untuk menata intonasi bicara, lalu tersenyum dan menjawab berbagai pertanyaan.

Post a Comment

10 Comments

  1. Mak Lusi emang Top Markotop dah
    saya belum nemu ide :)

    ReplyDelete
  2. nyahahahahahhahhaaaaa mbaaakkk geneo bisa juga bikin fiksiiii... keren inih. sukak! apalagi banyak dialek daerahnya hahaha...

    smoga menang ya mbaaakk.. etapi aku kepo ama GA nya kih. kapan sih DL nya? :D

    ReplyDelete
  3. walaupun kental bahasa Jawa, tapi menarik!

    Btw, 3 tahun menurut saya belum cukup lama untuk menjadi pemeran seni panggung hehe. Salam kenal dan semoga berjaya di kontes Pakdhe :D

    ReplyDelete
  4. huaaa cepet bener mbak bikinnya, good luck ya. nanti aku kemabli lagi buat baca ya mbak janji :)

    ReplyDelete
  5. makanya jangan malas mandi... wkwkwkw
    paling nancep pas baca :D

    ReplyDelete
  6. oh jadi yang jadi terangka si Palingo ya
    di versi saya yang jadi tersangka adalah si polisi Suzana haha
    mau tau kenapa? sila di baca di blog saya kalau berkenan :D

    ReplyDelete
  7. wuih.. gerak cepat.. dan hasilnya bagus... selamat ya... semoga sukses di sayembara Pakde ini :)
    salam kenal dari Kota Batik...

    ReplyDelete
  8. lanjutannya mantab ...
    Semoga sukses ngontesnya ...

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)