Euforia Kamera
Jerry Aurum, pemenang gold medal di Asian Print Award dan suami Denada ini, dalam acara Mata Lensa yang dibawakannya membuat saya merenung dan membandingkan (maaf). Alangkah bedanya sikap seorang fotografer profesional dengan para pengikut trend. Jerry yang ketika itu berada di pasar malam pinggiran untuk memberi tips and tricks memotret human interest dengan tegas mengatakan bahwa untuk menghasilkan foto yang bagus, yang terpenting bukanlah kamera canggih tapi hubungan antar manusia, yaitu antara pemotret dan yang dipotret. Pemotret harus membaurkan diri dengan kalangan tersebut dan sama sekali tidak disarankan untuk melakukan candid. Foto harus jujur merekam hubungan sosial antara yang pemotret dan yang dipotret. Jadi kamera baginya bukanlah alat untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai fotografer, melainkan merupakan penghubung sosial.
Image by congerdesign from Pixabay |
Sebagai penghubung sosial, berarti sikap seorang pemotret seharusnya tidak beda dengan hubungan sosial pada umumnya, misalnya ada sikap saling menghormati dan toleransi. Tidak peduli kameranya berharga 20 juta, begitu masuk sebuah pasar, tak serta merta dia boleh petentang-petenteng memotret seenaknya demi momen. Manusia yang ada didepannya harus dihargai jauh lebih tinggi dari momen tersebut. Sama seperti ketika memegang smartphone seharga 8 juta, tak serta merta dia boleh memaki-maki orang seenaknya di twitter. Hubungan sosial online dan offline seharusnya tetaplah sama, ada sopan santun dan saling menghargai.
Setelah kamera saku saya diambil pencuri, setiap hari saya membayangkan pengganti yang jauh lebih bagus, yaitu kamera DLRS. Rasanya keren sekali bisa punya kamera DLSR. Saya tidak terlalu narsis, selain juga karena sadar diri saya tidak fotogenik, tapi saya senang sekali memotret pemandangan, hal-hal unik dan manusia di setiap saya bepergian. Apalagi saya juga punya handicraft online shop yang perlu foto bagus. Asik juga melihat teman-teman yang tergabung dengan komunitas fotografi dan memiliki blog yang berisi foto-foto. Meski kemudian saya sadar bahwa saya sangat simple dan sangat menikmati perjalanan, jadi tidak mungkin saya bisa santai dengan membawa-bawa kamera seberat dan sebesar itu. Untunglah kemudian keluar kamera mirrorless yang lebih ringkas, meskipun tetap belum beli juga.
Ketika mengincar kamera di internet itulah, mata saya tertuju pada ribut-ribut foto seseorang sedang ibadah, sementara seorang perempuan dengan "gagah" dan "keren"nya berada di posisi diatas orang yang sedang beribadah tersebut. Saya sengaja menghindari obrolan tentang agama tersebut karena di twitter saja membuat beberapa akun berantem. Saya hanya miris dengan bagaimana kita memperlakukan kamera sebagai alat untuk menyembah momen. Tidak ada kesopanan, tidak ada toleransi. Yang penting hasilnya keren. Saya yakin kemampuan fotografi perempuan itu tidak ada seujung jari pun dibandingkan dengan kemampuan Jerry Aurum.
Momen telah menjadi candu sekaligus racun bagi sensitivitas kita. Dalam salah satu artikel saya, saya pernah menggambarkan bagaimana kesalnya saya ketika sebelah saya terus-menerus memotret sendratari Ramayana dari awal sampai akhir. Adalah hak dia untuk mendapatkan momen terbaik, tapi hak saya juga menikmati jalannya sendratari tanpa terganggu suara cekrek-cekrek tanpa putus. Jika niatnya adalah memotret, bukan menonton, sebaiknya dia tidak duduk disana, melainkan meminta permit ke panitia untuk berada dibawah. Lagipula annaucer sudah mengingatkan penonton untuk tenang dan tidak berisik.
Dalam suatu seminar, saya sengaja memilih duduk tepat di depan barisan tengah agar bisa memotret sambil mendengarkan pembicara. Ketika acara hendak dimulai, tiba-tiba beberapa orang langsung berdiri didepan saya untuk memotret. Padahal dia bisa memotret dengan berdiri di belakang saya karena saya duduk dan kameranya berlensa serta jarak yang cukup dekat dengan pembicara. Saya pun tidak bisa melihat apa-apa karena kamera orang-orang itu besar-besar, bukan kamera saku yang bisa memberi celah bagi lainnya. Saya langsung berteriak meminta mereka merunduk, karena itu pun sebenarnya bisa dilakukan dan bisa memberi kesempatan pada yang lainnya. Tapi kamera mereka telah digunakan untuk menyembah momen. Mau mereka sedekat mungkin dan harus tegak lurus dengan obyek. Tak peduli dengan lainnya. Permisi pada yang dipantatipun (maaf) tidak, padahal pantatnya (maaf) tepat dimuka saya dan teman-teman sederet saya karena mereka berdiri membelakangi kami yang duduk.
Euforia kamera akan terus bergulir. Rasanya hampir semua rumah tangga kelas menengah punya kamera keren. Mahasiswa pun banyak yang kemana-mana sudah menggembol kamera. Kamera memang bisa membuat kita keren hanya dengan menyandangnya saja, apalagi jika hasilnya sudah di-share. Saya tidak memungkiri itu, karenanya saya juga ingin punya. Tapi mari mengingat pelajaran dari Jerry Aurum bahwa momen yang paling berharga adalah apabila kamera digunakan untuk merekam hubungan sosial, bukan untuk gagah-gagahan.
Maka sebelum memotret, kita harus berempati lebih dulu.
17 comments for "Euforia Kamera"
Jarang sekali ada yang sprti Jerry Aurum ya Mbak.
Memotret dikerumunan banyak orang itu aku takut Mak, hehee...jadilah saya menyimpan kamera sajah *takut diambil intinya, hehee....
Salam
Astin
ujung-ujungnya make buat jadi tukang potret dadakan di kawinan qiqiqi
thnaks mak keren ulasannya
Kamera canggih tentu saja sangat membantu dalam menghasilkan sebuah karya foto yang baik tapi itu semua hanyalah teknis yang bisa dipelajari. Hal utama adalah EMPATI yang disebut di sini luar biasa. Ada keterkaitan moral antara manusia dan mesin untuk menghasilkan "chemistry"
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.