No Daster
Bagi saya, daster itu lambang kemerdekaan. Halah! Karena itu menandakan saya tidak sedang terikat oleh aturan tertentu. Saya bebas berekspresi, tepatnya bertingkah, jika sedang mengenakan daster. Ditambah lagi dengan tidak ada aturan mix and match dalam berdaster, terserah mau motif dan warna apa. Kalau saya sih, paling nyaman ya daster batik, enggak peduli motifnya. Terlebih jika batiknya sudah amoh alias sudah sering dicuci jemur setrika pakai untuk periode yang sangat lama. Apalagi jika jendelanya sudah dimana-mana alias robek-robek dan sudah susah ditisik. Kenikmatan dunia ibu-ibu.
Tapi kenikmatan tersebut bisa memalukan jika tidak melihat waktu. Selain usaha yang saya jalankan secara online, ruang tamu saya juga menjadi tempat menyimpan sebagian stock. Beberapa langganan tidak mau pesan dan diantar tapi datang kerumah saya supaya bisa puas memilih sendiri. Kedatangan mereka tidak rutin, jadi saya minta mereka untuk memberitahu sebelumnya supaya bisa saya persiapkan.
Tapi namanya pelanggan, apalagi jika sudah merasa akrab, disuatu Sabtu siang yang santai mereka datang tanpa pemberitahuan. Dengan semangat mereka mengetuk-ngetuk pagar dan memanggil saya. Jika tidak ada tamu, pagar memang sering saya kunci karena trauma perampokan dan kadang ada juga orang yang datang memaksa melamar pekerjaan. Sialnya, waktu saya intip tamu saya tersebut ketutupan pohon. Karena mereka keukeuh sekali, ya sudahlah saya keluar melalui pintu samping bersiap dengan banyak alasan seandainya yang datang sales atau orang-orang aneh. Saya pun menyambar handuk. Loh, kok handuk? Iya, soalnya ada jendela lumayan di daster yang posisinya di pundak. Tutup saja pakai handuk. :D
Begitu melihat para tamu itu, kami sama-sama terkejut. Mereka terkejut karena melihat saya yang awut-awutan seperti inem, sementara saya terkejut karena merasa tak siap dengan tampilan seperti inem itu. Buru-buru saya masuk lagi dan berdandan, sementara anak saya membukakan pintu depan yang masih terkunci rapat karena kami barusaja pulang dari mengambil rapor. Dengan tampilan seadanya, yang penting tertutup dan sopan, saya pun segera menemui tamu-tamu saya sambil membereskan ruang tamu juga. Perlu beberapa menit untuk menormalkan keadaan dengan permintaan maaf dan memberikan berbagai alasan sebelum terjadi transaksi yang jumlahnya alhamdulillah.
Dari situ saya menyadari bahwa tamu-tamu kebanyakan datang kerumah di hari Sabtu atau Minggu atau diluar jam kantor mereka. Jadi meski suasananya santai, sebagai pemilik usaha rumahan seperti saya tidak boleh lantas seenaknya saja. Pemberitahuan sebelum datang itu hanya himbauan saya kepada mereka. Jika mereka tidak keberatan mengambil resiko saya belum siap, saya bisa apa? Masa pelanggan mau mengambil resiko, kita malah jual mahal?
Jadi, jika memiliki usaha dirumah, apapun itu, meski frekuensi kedatangan pelanggan tidak sering, kita tetap harus tampil prima di jam-jam umum bertamu. Suasana boleh santai, tapi kita tetap harus rapi, bersih, sopan dan wangi. Soal cantik, cukup senyum yang lebar, tak perlu bedak terlalu tebal. Hahahaaa.... masih nawar! :D
12 comments for "No Daster"
*masih ngikik ngebayangin mak lusi pake daster ditutup handuk trus terpesona didepan tamu* :p
Setuju banget dengan artikel, Mak Lusi. Di rumah juga suka didatangi tamunya si mas, untungnya tamunya lebih suka duduk di teras rumah, jadinya tinggal ngumpet di kamar kalau masih pakai daster, hehe
XOXO
http://leeviahan.blogspot.com
Isis, hihihi
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.