Kiat Menulis Opini ST Kartono

Kemudahan komunikasi saat ini membuat kita lebih reaktif terhadap suatu peristiwa. Sedikit saja menyimpang dari kepatutan langsung dibahas berulang-ulang, dikupas tuntas, bahkan dibully. Berpendapat terhadap suatu peristiwa adalah hak dan kebutuhan manusia. 

Pendapat adalah pagar maya terhadap hal yang baik dan buruk. Sedangkan menuliskan opini adalah tingkatan berpendapat yang kadang beresiko tinggi. Karena itu, menuliskan opini harus memiliki dasar yang benar dan kuat. Selain itu, menuliskan opini yang akan dipublikasikan harus pula memiliki standar kelayakan untuk dibaca umum, karena opini itu bukan menyinyiri pihak lain atau meng-khotbah-i orang lain.

Jadi, tanggal 13 Desember 2014 lalu saya sudah berencana mager (malas gerak). Tapi mbak Indah merayu (jiah merayu) saya untuk menemaninya ke workshop yang diadakan Kompas, bekerja sama dengan Komunitas Blogger Jogja (KBJ). Ya sudahlah, berangkat kami ke Greenhost Boutique Hotel yang kece banget. Saya ceritain di postingan lain ya, biar fokus.

ST Kartono

Pak ST Kartono ini berpembawaan enerjik. Saya lupa keseluruhan curriculum vitae beliau. Setidaknya beliau adalah dosen UNY, guru de Britto, penulis banyak buku dan seringkali opininya di Kompas mengundang masalah bagi dirinya sendiri.

ST Kartono memulai dengan pertanyaan untuk apa menulis. Dan berikut berbagai alasan yang terpikirkan:
  • Curhat
  • Disuruh / ditugasi atasan
  • Syarat untuk naik golongan di kantor
  • Tidak ada kerjaan
  • Ingin dikenal
  • Membuat sejarah
  • Iseng
  • Mau mengubah dunia (impian?)
Mengubah dunia tak harus menulis tentang mega skandal. Kita bisa melakukannya melalui kolom surat pembaca di media cetak, misalnya. ST Kartono bercerita, beberapa waktu lalu uang koin  iuran warga yang dikumpulkannya ditolak sebuah bank. Padahal tiga bulan sebelumnya tidak apa-apa. Alasannya karena terlalu banyak uang koin. Beliau lalu menuliskannya di kolom pembaca Kompas. Seminggu kemudian bank tersebut meminta maaf. Beliau tidak mempermasalahkan tindakan penolakannya tapi mempertanyakan prinsip bahwa bank tidak boleh menolak alat pembayaran yang sah, apapun bentuknya. Jika bank kesulitan menampung, itu adalah urusan bank tersebut dengan BI, bukan dengan nasabah.

Jika ada orang yang selalu punya alasan untuk menulis, pastilah ada yang sebaliknya, yaitu tidak mau menulis. Kira-kira apa sebabnya ya? Berikut antara lain:
  •          Malas
  •           Tidak ada yang mengajari
  •          Banyak kerjaan
  •          Tidak ingin dikenal
  •          Tidak ingin mengubah dunia
Kadang, meskipun hasrat untuk menulis sudah ada, tapi enggak juga segera menulis. Apakah karena ketakutan dibawah ini?
  •      Takut dicela
  •          "Tulisanmu buruk!”
  •           Idemu dangkal
  •           Tidak jelas
  •          Sampah
Email dari Kompas ketika menolak tulisan ST Kartono.

Reaksi kita ketika tulisan dianggap kurang bagus biasanya defensif atau reflektif. Hasil yang kurang baik memang tidak seharusnya membuat kita berhenti menulis, justru kita harus belajar dari kegagalan.
Memulai menulis agar terus-menerus terasah berarti adalah menggabungkan antara tahu, mau dan trampil, lalu menjadikannya kebiasaan seperti yang digambarkan dibawah ini:


Workshop diselingi dengan latihan menulis berdasarkan gambar yang diberikan ST Kartono seperti dibawah ini: 


Enam orang yang membacakan opininya termasuk saya dan mak Irul memberikan tema yang benar-benar berbeda. Saya tentang pemimpin dan mak Irul tentang raja Singsing.

ST Kartono melanjutkan bahwa jika secara spesifik ingin menulis opini maka harus bertolak pada hal-hal yang konkrit. Jadi, opini saya tentang seorang pemimpin jauh dari sasaran karena tidak membahas hal konkrit, hanya teori atau harapan tentang seorang pemimpin. Beliau juga menggarisbawahi bahwa dalam menulis opini kita harus menentukan sikap / berpihak, kepada yang pro atau yang kontra.
 Menulis di media itu untuk pembaca, bukan untuk kepuasan diri sendiri.
Menulis opini itu bisa berupa:
  • Tanggapan terhadap persoalan aktual.
  • Bertujuan memberi tahu, mempengaruhi, meyakinkan, atau menjernihkan persoalan yang kontroversial.
  • Menterjemahkan masalah yang rumit kedalam bahasa yang dimengerti umum. 
Sebagai contoh adalah opini ST Kartono tentang gedung-gedung sekolah di Jogja yang dijadikan cagar budaya. ST Kartono menyorotinya dari sisi arsitektur dihubungkan dengan kegiatan belajar-mengajar, bahwa gedung jaman dahulu ternyata lebih memperhatikan kenyamanan penghuni sekolah.

Satu gambar seperti yang ditunjukkan oleh gambar sepak bola tadi ternyata menghasilkan opini yang berbeda dari tiap orang, maka sebaliknya akan terjadi pula pada interpretasi pembaca tulisan kita. Maka dari itu perlu beberapa hal ini untuk membuat opini kita fokus.
Artikel opini yang baik itu tajam mendalam, bukan luas melebar.
Karena itu, dalam menulis artikel opini kita haruslah:

  • Mempertajam topik atau mempersempit tema.
  • Mengambil sudut pandang atau "angle" yang pas.
  • Mempunyai kecukupan data untuk mengembangkannya (tidak hanya berputar-putar).
Contoh lain tentang UN. Dari sekian banyak permasalahan UN pilih sudut pandang khusus misalnya hanya membahas tentang stress murid. 
Menulis opini itu ibarat datang ke perjamuan, pilih salah satu dan sesuaikan porsinya dengan piring yang disediakan.
Dalam membahas masalah yang akan kita angkat menjadi artikel opini, kita bisa melakukan dengan beberapa hal berikut ini:

  •    Menyetujui . Sebelum melihat masalah kita harus memposisikan diri apakah akan pro atau kontra.
  •           Menambahkan
  •          Melangkapi
  •           Menentang / keberatan
  •          Menawarkan alternatif
  •           Mengkritis
    Beropini seringkali mendatangkan bahaya pada diri kita karena tak semua orang atau pihak bisa menerima kritik atau koreksi. Untuk meminimalisir resiko negatif seperti itu, kita wajib:
  •      Melatih cara penyampaian kita agar tidak menyinggung orang lain.
  •      Bersikap rendah hati meski punya data lengkap terhadap masalah yang diungkap.

Sebagai artikel yang akan dipublikasikan secara luas, opini juga harus memperhatikan struktur tulisan, sebagai berikut: 

  •          Masalah: tolakan ide
  •          Evaluasi: perbandingan, kasus serupa, data lain, konkret
  •          Solusi; berpihak, inspirasi, penegasan
Jadi, menulis opini bukan berarti asal galak, mengkritik semaunya, tapi juga memberikan evaluasi dan solusi.

Saya sempat bertanya, tidak seperti wartawan yang memiliki beberapa pembela, baik yang disediakan oleh media tempatnya bekerja, asosiasi maupun badan independen lainnya, blogger ini seolah tanpa back-up. Saya mencontohkan (karena tema utama workshop adalah lingkungan) hal-hal yang saya lihat ketika masuk ke pedalaman Riau. Dengan meminimalisir kata-kata dan memperbanyak foto, apakah itu sudah cukup mewakili opini saya. Menurut ST Kartono, gambar memang lebih kuat dari tulisan tapi penjelasan terhadap gambar/foto tetap diperlukan karena interpretasi pembaca bisa bermacam-macam.
           
SEBUAH OPINI BUKAN KUTIPAN PENDAPAT-PENDAPAT

Nah, seringkali agar tulisan kita tampak berbobot, kita menggunakan kutipan para ahli. Beliau mengatakan tidak masalah dengan perbandingan 2 pendapat ahli, 8 pendapat kita sendiri, karena yang kita tulis adalah opini kita, bukan sedang mengkompilasi opini para ahli.
Di akhir sessi (mungkin, karena saya pamit duluan ada keperluan lain) ST Kartono memberikan sebuah foto dan meminta kami beropini dalam waktu 5 menit. Meski saya pulang duluan, tapi saya masih sempat mengerjakannya lo pak. Heheee... Berikut opini saya:

Masalah: Sampah terkumpul (lokasi tidak diketahui, jadi kurang kongkrit) tapi tidak tertampung dengan baik sehingga mengganggu pemandangan dan mencemari lingkungan karena tampak pula sampah plastik dari berbagai jenis.

Evalusi: Dinas kebersihan tidak memiliki mapping letak-letak tumpukan sampah warga. Sebaliknya warga tidak memiliki pengetahuan dan inisiatif untuk pengelolaan sampah mandiri.

Solusi: Perwakilan warga meminta informasi ke dinas kebersihan tentang jadwal pengangkutan sampah agar warga menyesuaikan waktu pembuangannya dari rumah, serta meminta dinas kebersihan membangun bak penampungan sampah yang memadai. Jika dinas kebersihan tidak memiliki sumber daya yang memadai, minimal memberikan pelatihan kepada warga tentang tata cara pengelolaan sampah secara mandiri.

Demikian opini saya yang belum dalam bentuk paragraf yang baik karena toh akan dibaca jadi bisa diperhalus penyampaiannya saat dibacakan. Tapi ya begitulah, saya terburu-buru pulang.
Nah, teman-teman ada yang mau mencoba beropini terhadap foto diatas? :D

Post a Comment

42 Comments

  1. Keren Mak..matur nuwun sanget dah dibuat reportasenya..jadi ga gelo2 banget ga bisa ikutan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heheheee ndilalah juga nggak rencana ini, kena rayuan mbak Indah. Alhamdulillah narsumnya kweren

      Delete
  2. Ambil nafas maak bacanya.
    Saya jiper nulis opini mak..

    ReplyDelete
  3. Wow, makasih sharingnya mak. Bermanfaat banget. Masih kurang piawai menulis opini, karena selalu menggunakan sudut pandang pribadi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mak. Sulit mencegahnya ya, karena kita berangkat dr blogger :)

      Delete
  4. Manggut-manggut, pas banget lagi mau ngirim opini . tapi kayaknya harus diperbaiki krn kurang konkrit. makasih reportasenya, mak.

    ReplyDelete
  5. Sama dengan mak Uwien, saya juga lagi mau ngirim opini nih.. jadi belajar lagi..
    makasih ya Mak Lusi udah bagi-bagi ilmunya :)

    ReplyDelete
  6. Manfaat banget tulisannya mak, jadi tahu gimana beropini yg baik. Makasih ya mak :-)

    ReplyDelete
  7. Lengkap banget nihh ilmu menulis opininya.. Pasti mantengin pematerinya dengan sungguh-sungguh nihh di kursi depan.. :D Salam kenal mbak. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya duduk di tengah kok tapi saya murid yang baik :D

      Delete
  8. sudah keluat reportasenya...punyaku masih ngendon di tas urek2annya....hehehehe . Materi ini bagus banget ya kemarin. Benar2 membuka pikiran ternyata opini itu ada aturannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang kalau seminar lebih suka bawa laptop mak, jadi langsung ketik biar nggak 2x kerja. Paling edit2 atau nambahi saja. :D

      Delete
  9. Mantaaaap Mak, bergizi banget inih. Sampe sekarang belom berani nulis opini di media massa :)

    ReplyDelete
  10. Wow, jadi nambah pengetahuan soal menulis opini. Makasih, mbak, sudah berbagi :)

    ReplyDelete
  11. Wah mbak keren banget ini laporannya berasa ikut dapet ilmu juga. Makasih udah sharing ya. :D

    ReplyDelete
  12. Kunjungan pertama nih hehe.. Aku kalau menulis itu hanya dengan tugas kerjaan saja dan sedikit curhat juga di salah satu postingan.
    Salam kenal iya :)

    ReplyDelete
  13. Bagussss banget liputannya. Jadi termotivasi buat nulis opini dan ngirim ke media massa! ^^

    ReplyDelete
  14. banyak benar manfaat nya ini artikel nya ya mbak...

    ReplyDelete
  15. Ini acara kompas tentang opini itu ya, saya kelewatan acara ini...

    ReplyDelete
  16. Saya belum habis baca semuanya mbak tapi kalimat yang saya suka adalah "Menulis di media itu untuk pembaca, bukan untuk kepuasan diri sendiri". Bagi sayamenulis di media apalagi itu media sosial berarti memberikan kesempatan kepada orang lain untuk membacanya.

    Betul sekali.... Tulisannya bisa jadi penyemangat nih buat pembelajaran...

    ReplyDelete
  17. Waah komplit banget, bisa banyak belajar dari sini nih mbak... makasiiih

    ReplyDelete
  18. Tulisannya keren bu, sudah membuka wawasan dan memberi pencerahan untuk saya agar lebih giat lagi belajar menjadi penulis opini yang baik :)

    ReplyDelete
  19. aseg..dpt ilmu lageee, maksih mak lus :)

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)