Vandal Bukan Mural
Sudah lama pengin nulis bahwa vandal bukan mural di Jogja. Setelah setahun tidak ke Jogja, terkejut bukan main waktu melihat penampakan sekilas Jogja kala itu. Kota agak tak terawat. Yang sangat mencolok sehingga mengudang komentar anak saya adalah soal corat coret yang tidak karuan sepanjang jalan yang kami lalui.
Jogja dulu tidak begitu. Jogja dulu sangat membanggakan mural dimana-mana. Bahkan saking semangatnya, saya sempat memprotes seorang teman yang EOnya bertugas membuat mural batik di pohon palem dekat titik nol. Pohon kok dicat? Selebihnya, jalan-jalan di sekitar Jogja selalu membuat wajah kita berseri-seri menikmati karya-karya di tembok-tembok atau bahkan penyangga jalan layang, Ada mural yang sangat "nyeni", ada yang modern, ada yang bermuatan kritik politik, bahkan ada juga yang lebay cinta-cintaan. Tapi itu menambah keragaman karakter masyarakat yang berusaha ditampilkan.
Bagaimana kini? Susah sekali menyelamatkan barang satu rolling door toko dari para pelaku vandalisme. Baru hari ini dicat, besok sudah coret moret nggak karuan. Herannya, ada yang mencoret lampu jalan segala, entah bagaimana bisa sampai naik kesana.
Dari google translate saya dapatkan bahwa vandal adalah seseorang yang dengan sengaja merusak prasarana publik maupun pribadi. Sedangkan mural menurut wikipedia adalah karya seni yang dituangkan langsung ke tembok, atap atau permukaan permanen yang lebar lainnya. Meskipun sama-sama bermodalkan cat, proses, hasil dan efek psikologis yang ditimbulkannya sama sekali berbeda.
Apakah aparat diam saja? Tentu tidak! Berbagai cara ditempuh untuk mencegah vandalisme. Bahkan saking geramnya, pernah ada tiga anak SMU yang mencoret-coret komplek makam dan ketahuan, dihukum menghapus cat tersebut menggunakan kuku mereka sendiri. Jadi apa yang salah?
Sungguh saya tidak tahu karena saya bukanlah pengamat masalah vandalisme dan tidak terlalu perkembangan kota Jogja. Namun, dari gairah yang terasa dulu dan atmosfirnya yang berbeda sekarang, mungkin yang dibutuhkan adalah fasilitas, bukan larangan. Anak-anak atau mungkin sudah pemuda, semakin dilarang akan justru semakin mencari cara untuk "memecahkan rekor" melanggar.
Dahulu banyak kelompok yang membuat mural bersama-sama, kadang dikompetisikan. Sekarang juga masih ada, tapi tidak sebanyak dulu. Ini tampak dari banyaknya mural lama yang sudah usang dan belum diganti.
Beberapa waktu bulan lalu saya membaca lomba mural yang didominasi oleh sekolah-sekolah favorit. Ah, anak-anak sekolah favorit tentu sudah punya media yang lebih baik dan mendapat bimbingan sesuai dengan bakatnya. Seandainya remaja-remaja yang keluar jam 01.00 dinihari hanya untuk menyemprot rolling door toko orang itu diajak serta, mungkin bisa membuat mereka sibuk di siang hari, lalu kecapekan dimalam hari dan tidur.
Jika mereka perlu mengabarkan eksistensi kelompok mereka, biar saja mereka membubuhkan identitas gank di mural yang mereka buat. Jika ternyata mereka hanya bisa menyemprotkan cat secara sporadis dan sama sekali tidak bisa membentuk gambar lain, yang abstrak sekalipun, mungkin bisa meminta bantuan komunitas mural yang ada untuk memberikan bimbingan. Umumnya komunitas seperti itu beranggotakan pemuda-pemuda yang gaul juga, mungkin komunikasi mereka bisa lebih nyambung.
Ini himbauan serius yang terlihat mudah mengucapkan tapi saya maklum akan susah pelaksanaannya. Namun demikian pemegang otoritas harus bertindak bukan, agar kota tidak bertambah kumuh sehingga citra sebagai kota pariwisata bisa ditingkatkan. Yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan remaja dari rasa bangga yang tidak benar.
32 comments for "Vandal Bukan Mural"
Anak-anak itu menuangkan seni di tempat yang salah. Baiknya sih gitu, menempatkan anak-anak ke komunitas mural, biar tangan-tangan jahilnya ini bermanfaat.
Emang mural itu bisa mengurang vandalisme.
dirimu dimana toh...? ta'japri di FB yah hhhehehe...
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.