Uniknya Hidup Di Kota Wisata
Keunikan hidup di kota wisata ini sebenarnya hampir sama terjadi di banyak kota di Indonesia.
Makin banyak pemerintah kota yang menggali potensi wisata daerahnya untuk dijadikan penggerak perekonimian sektor lain. Karena selain pemasukan murni dari obyek wisata, kota tersebut juga mendapatkan pemasukan dari bergairahnya sektor akomodasi, kuliner, operator wisata, dan sebagainya. Namun ada beberapa kota yang mendapat kunjungan wisatawan lebih banyak dari kota lainnya, misalnya Jogja.
Yang nyaring terdengar ketika liburan tiba adalah macet. Tapi tentunya lebih banyak lagi cerita selain soal macet itu. Apa saja sih kisahnya?
Bingung Teman Datang
Sebagai kota tujuan wisata, ada saja teman yang datang, apalagi jika punya teman banyak. Bisa bergantian saja teman yang datang. Kadang datangnya tidak hanya hari libur karena tidak semua datang untuk liburan, ada pula yang datang untuk seminar.
Ada dua dilema ketika teman datang ke kota kita, yaitu kalau tidak menemui dikira sombong, tapi kalau minta ketemuan takut mengganggu.
Jika datang sendiri, saya lebih enak mengajak ketemu, tapi harus perempuan. Kalau beliau punya jadwal padat, saya lebih enak pula memahaminya. Susahnya kalau saya sendiri punya kegiatan penting, tidak tega mau menolak ajakan untuk ketemu karena beliau seorang diri, mungkin butuh teman jalan-jalan atau ngobrol.
Jika datang dengan keluarga, posisinya agak susah. Karena orang masakini selalu upload foto liburan di media sosial, nggak mungkin kita tidak tahu. Mau negur nggak enak, takut beliau merasa tertuntut untuk ketemuan. Namun mengajak ketemuan memang sengaja saya hindari, takut mengganggu keluarganya. Banyak keluarga yang tidak punya banyak waktu untuk bersenang-senang bersama. Giliran mereka bisa bareng-bareng, masa kita minta waktu?
Menggampangkan
Saya senang mengikuti twit larut malam sebuah akun daerah saya karena isinya curhat atau cerita-cerita unik warga. Salah satunya tentang pengakuan warga Jogja yang ternyata kebanyakan belum pernah berfoto di plang "Malioboro" atau Tugu. Itu termasuk! Bagaimana itu bisa terjadi, sedangkan tiap wisatawan turun di stasiun Tugu, yang pertama mereka lakukan adalah foto dibawah plang "Malioboro"?
Karena hidup disekitar tempat-tempat menarik dan melihatnya setiap hari, kita cenderung menganggapnya biasa. Kita pikir, besok-besok foto juga bisa. Sedangkan para wisatawan itu belum tentu bisa balik lagi ke Jogja, jadi biar saja mereka memoto semuanya. Kita kapan-kapan saja. Tapi kapan-kapan itu tidak pernah terjadi.
Itu juga berlaku untuk tempat-tempat wisata baru yang sedang happening. Seringkali wisatawan malah sudah berkunjung duluan kesana dengan menghasilkan foto-foto keren.
Kurang Piknik
Warga kota wisata bisa jadi justru menjadi orang yang kurang piknik. Ketika liburan panjang seperti ini, dimana seolah kota diambil alih wisatawan, banyak teman-teman Jogja yang mengatakan, "Kita ngalah aja deh, nggak usah ikut uyel-uyelan. Mereka kan jauh, biar saja dipuasi-puasin. Nanti kalau mereka sudah pulang semua, kita bisa kesana kapan saja."
Banyak warga kota wisata yang memutuskan di rumah saja atau melipir ke tempat liburan yang lebih sepi meski tidak terkenal. Padahal, ketika liburan selesai, masing-masing disibukkan dengan urusan kerja atau sekolah. Tak ada waktu untuk piknik. Akhirnya, jadilah warga kurang piknik. Susah ya?
Tukang Gerutu
Musim liburan membuat warga mendadak menjadi tukang gerutu. Mulai dari soal macet, buang sampah sembarangan, selfie suka-suka, pengendara ugal-ugalan, dan sebagainya. Memang, kenyamanan warga terganggu karena tak semua wisatawan paham bahwa mereka adalah tamu yang harus menghormati tuan rumah. Banyak yang merasa karena sudah membayar atau sudah membelanjakan uangnya di kota tersebut, mereka berhak bersikap semau mereka.
Mungkin hanya para pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata dan pemerintah yang bersuka ria meski banyak ekses seperti itu. Mungkin pemerintah kota harus bisa membuktikan pada warga bahwa berduyun-duyunya wisatawan yang datang berdampak positif juga bagi warga. Pemasukan daerah dari sektor wisata harus bisa digunakan untuk fasilitas yang lebih baik sehingga tidak mengganggu aktivitas warga, misalnya kantong parkir yang memadai, toilet umum yang banyak dan tersebar, jalan yang lebar dan mulus, trotoar yang bersih dari pedagang kaki lima dan parkir hotel, transportasi umum yang lolos uji emisi gas buang, taman-taman yang hijau dan rapi, dan sebagainya.
Mencoba menikmati hidup di kota wisata juga merupakan keunikan tersendiri. Banyak yang sudah menulis tentang tips menikmati liburan tahun baru 2016 di Jogja. Coba, warga juga punya tips untuk menikmati kotanya sendiri ya? Sudah ada yang nulis?
47 comments for "Uniknya Hidup Di Kota Wisata"
Btw, aku be belum pernah foto di bawa plang Malbor. . . :D
setuju sekali dengan kalimat itu mbak..
dulu waktu kuliah di jogja, saya merasa besok saja datang ke keraton,,
tapi sampai lulus dan meninggalkan jogja, saya sama sekali belum pernah melihat keraton..
sad....
Sekarang suasananya sudah semakin padet ya?
Memang biasanya kalo sama keluarga rada susah kalo mau kopdar, apalagi kalo acara padat merayap :)
tapi memang saya jarang foto. Lebih suka memoto.
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.