Perjanjian Orangtua Dan Remaja
Apakah teman-teman yang sudah memiliki anak remaja punya perjanjian?
![]() |
Source: http://www.homecontract.org/technologyinternet-use-contract-for-teens/ |
Ketika browsing tentang remaja, saya menemukan bahwa di negara-negara barat banyak orangtua tua yang membuat semacam kontrak dengan anak remaja mereka. Kontrak itu antara lain soal uang saku, penggunaan handphone dan tablet, kendaraan bermotor, keluar malam, dan sebagainya. Wah, apa harus saklek seperti itu?
Entahlah, kita punya gaya sendiri dalam menangani anak-anak, disesuaikan dengan karakter anak kita. Tapi kalimat tersebut menjadi seperti pasal karet karena banyak orangtua, termasuk saya, yang kemudian memberikan banyak sekali kelonggaran. Antara tak tega, sayang yang berlebihan dan takut anak-anak marah, peraturan yang sudah ditulis pun tak jalan. Mungkin kontrak bisa menepis sikap lembek orangtua karena kedua belah pihak harus tanda tangan.
Masa remaja adalah masa eksplorasi diluar kebiasaan dirumah dan diluar lingkungan rumah. Apa yang sudah kita sepakati dan kita tanamkan sejak si anak lahir, memasuki tahap yang kontradiktif. Anak-anak mulai menghadapi kenyataan-kenyataan yang berbeda dari yang sudah diajarkan dan diharapkan.
Contoh konkritnya ketika saya makan mie ayam di warung, kebetulan anak saya duduk bersebelahan dengan anak sekolah seusianya. Dari raut wajah anak saya, saya paham bahwa dia memiliki banyak pertanyaan lantaran anak perempuan di sebelahnya itu sudah mengenakan bedak agak tebal, eye shadow, lipstik tipis dan warna rambut keemasan. Ini bertentangan dengan yang sudah saya tetapkan dan didukung dengan peraturan disekolahnya, bahwa anak sekolah cukup mengenakan bedak seperlunya, sedangkan make up lainnya dilarang.
Membuat perjanjian antara orangtua dengan remaja itu sama sekali tidak mudah.
Yang kita anggap sebagai himbauan, terdengar sebagai aturan bagi mereka. Yang kita putuskan sebagai aturan, bisa dipandang sebagai larangan oleh mereka. Namun, sebagai orangtua, kita memang punya kewajiban menetapkan garis-garis yang tidak boleh dilanggar oleh remaja. Lagipula, kita bisa menerangkan pada anak-anak bahwa perjanjian tersebut juga dalam rangka menghormati privasinya. Setidaknya ada beberapa hal yang mencapai puncak kritisnya ketika anak-anak remaja, baik karena anak-anak itu sendiri sedang mencari posisi dirinya, juga karena pertentangan batin orangtua yang harus lebih tegas dari sebelumnya.
Gadget
Di negara maju, persoalan gadget baru muncul ketika anak-anak sudah remaja. Herannya, di negara berkembang seperti Indonesia, dimana teknologi gadget tidak secepat disana tapi justru memunculkan persoalan lebih awal dikalangan remaja. Sejak SD anak-anak sudah diijinkan memegang gadget dengan merk-merk canggih. Saya sempat terkejut ketika anak saya bertanya berapa harga smartphone saya. Untuk apa tanya harga? Kami tidak pernah menilai sesuatu berdasarkan nominal uang. Ternyata teman anak saya menceritakan berapa harga iPhone miliknya. Aneh memang, tapi kenyataannya anak-anak SD sudah hapal merk-merk smartphone.
Perjanjian penggunaan gadget ini sebenarnya tidak bisa dilakukan oleh orangtua sendiri tapi harus sejalan dengan peraturan sekolah. Ketika marak video tak senonoh anak-anak sekolah yang beredar, sekolah-sekolah melarang penggunaan smartphone. Ini agak melegakan orangtua karena anak-anak hanya boleh membawa handphone biasa untuk menelepon atau sms. Tapi itu semua bubar ketika kurikulum 13 diterapkan. Anak-anak justru diminta membawa smartphone dan laptop dengan alasan tugas-tugas sekolah perlu gadget untuk mencari narasumber, sedangkan sekolah tak mampu menyediakan saluran internet tertutup yang bebas dari konten negatif.
Saya tidak tahu perjanjian apa yang saya bisa saya buat bersama anak-anak, sedangkan teman-temannya sudah punya akun socmed meski usianya belum mencukupi, yaitu minimal 13 tahun. Lebih miris lagi, itu diketahui dan didukung orangtuanya. Mereka memuat foto-foto tertawa bahagia mereka. Syukurlah mereka mau bertahan hingga usia 13 tahun. Bahkan ketika waktunya tiba, keingingan mereka untuk punya akun socmed sudah hilang. Sudah basi, kata mereka.
Namun, tantangannya masih besar karena mereka bebas browsing dan punya group chat. Selain mengganggu waktu belajar, group chat juga merupakan sumber bully. Dan jangan naif mengkhawatirkan anak sebagai korban bully, cek juga siapa tahu justru anak kita yang jadi tukang bully-nya.
Mungkin yang bisa kita lakukan adalah membatasi jam penggunaan gadget dirumah. Kalaupun melebihi waktu yang telah ditetapkan, harus dalam rangka mengerjakan tugas. Jangan paksa untuk mengecek gadgetnya karena mereka akan marah dan berontak. Pinjamlah dengan bercanda, sambil menerangkan apa yang boleh dan tak boleh mereka lakukan. Apakah teman-teman punya saran lain tentang gadget dan remaja ini?
Pergi Sendiri
Karena sibuk, banyak orangtua yang mengajarkan anaknya mandiri sejak dini. Namun remaja tetaplah remaja. Sesekali harus kita periksa benarkah mereka belajar di tempat les, atau itu hanya alasan supaya bisa kumpul-kumpul dengan temannya dan jajan? Jika menggunakan kendaraan umum, kita harus tahu naik apa, darimana kemana, taksi no berapa dan sebagainya. Jangan menyesal di belakang hari. Jika naik kendaraan bersama temannya, pastikan siapa yang menyetir, sudah punya SIM atau belum, pakai helm atau tidak, dan sebagainya. Mandiri bukan berarti tahu beres si anak sampai di tempat tanpa merepotkan kita, tapi sampai dengan selamat juga.
Bahwa cafe itu tempat eksekutif muda nongkrong itu sudah berpuluh-puluh tahun lalu. Cafe kemudian juga menjadi tempat nongkrong mahasiswa dan pelajar juga. Anak SMA nongkong di cafe sambil merokok? Saya sudah beberapa kali melihatnya. Jadi orangtua tidak boleh kudet (kurang update). Pastikan kemana anak-anak hangout bersama teman-temannya, ke cafe, restoran atau nonton. Sekarang banyak cafe atau restoran yang nyaman untuk remaja, yang bisa jadi pilihan. Tanya siapa teman-temannya, terutama yang lawan jenis. Jika pengunjungnya terlalu majemuk, tegaskan pada anak-anak, terutama remaja putri, untuk tidak menerima traktiran dari siapapun yang belum dikenal baik. Lebih baik lagi jika kita boleh ikut meski di meja yang berbeda.
Jam malam juga harus dikenakan dengan ketat. Tiap rumah punya aturan tersendiri, tapi jika bukan kegiatan sekolah, diatas jam 21.00 sudah terlalu malam. Diatas jam itu, meski hanya duduk-duduk, makin tinggi resiko untuk bersenggolan dengan kelompok remaja lain atau bahkan dengan komplotan yang lebih dewasa.
Terlalu dini mengijinkan remaja usia SMA kebawah pergi keluar kota sendiri. Pastikan kita sudah mengenal baik orang-orang yang bersamanya maupun orang-orang di tempat tujuan. Sebaiknya hanya diijinkan jika merupakan kegiatan sekolah.
Tanggung Jawab
Menginjak usia remaja, sudah saatnya kita menambah tanggung jawab.
Setiap fasilitas yang diminta remaja, sebaiknya disertai pemahaman akan konsekuensinya. Mereka harus belajar untuk memperhatikan kepentingan sekeliling juga. Misalnya setelah cukup umur dan punya SIM, mereka minta sepeda motor, mereka harus mau memboncengkan adiknya yang sekolahnya berjarak tak jauh.
Misal punya anak remaja laki-laki dan minta ijin hangout bareng teman-temannya, kita harus memberinya pengertian untuk menjaga teman-teman remaja putrinya. Mereka harus memastikan teman-temannya tersebut selamat sampai dirumah dan tidak pulang terlalu malam.
Soal pacaran juga punya konsekuensi, yaitu yang laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarga pihak perempuan meski gambaran untuk hubungan yang lebih serius masih jauh. Jika remaja paham akan segala konsekuensinya, mereka tidak seenaknya mengumbar kemesraan atas nama kekinian. Banyak sekali di socmed, remaja yang masih sangat unyu mengunggah foto mesra dengan pasangan. Di kota pelajar saja sudah beberapa kali saya melihat remaja berciuman dalam mobil di tempat parkir mal, bahkan di lampu merah. Ada beberapa sekolah yang membuat perjanjian tertulis dengan siswanya yang berisi larangan pacaran selama belajar disana seperti sekolah anak saya. Tapi diluar sekolah, apapun bisa terjadi jika kita tidak mengiringi dengan perjanjian yang sama.
Konsekuensi ini juga bisa kita hubungkan dengan uang saku. Dunia remaja saat ini luar biasa konsumtif. Tidak hanya baju dan perangkatnya, tapi juga gadget, tempat nongkrong hingga kendaraan. Untuk membendung itu semua, kita bisa mengenakan batasan uang saku yang harus mereka cukupkan. Jika punya keinginan lain, mereka harus menabung atau mencari penghasilan sendiri. Banyak remaja kreatif yang mulai memiliki usaha olshop pernak pernik.
Diatas adalah contoh kontrak yang umum dilakukan oleh para orangtua di negara maju dengan anak-anak remaja mereka. Dibandingkan dengan peraturan yang sering kita tetapkan pada anak-anak kita, sehingga lebih terasa sebagai perintah, kontrak tersebut merupakan titik temunya. Kontrak tersebut mengakomodasi harapan orangtua dan keinginan si anak. Sebelum ditandatangani, isi kontrak tersebut telah dirumuskan dan disepakati oleh orangtua dan anak remajanya sehingga kemudian lebih tepat disebut sebagai perjanjian. Saya belum menerapkan kontrak seperti itu. Menurut teman-teman, perlu atau tidak?
28 comments for "Perjanjian Orangtua Dan Remaja"
Ide yang bagus utk ditiru membuat kontrak dgn anak utamanya masalah gadget, tivi, video game dll
TFS Mak :)
Aku pulang deh. Lah ra ono gedhang godhog.... wkwkwkwk
Pendeknya, we are the same boat, mba Lusi
Kalau hp dia ngga berani bawa ke sekolah karena dilarang tapi kalau di rumah jangan tanya :)
kasih pengertian sejak dini untuk menjaga mata saja...
sisanya bisa belajar kenapa-kenapanya dari kaidah2 agama..
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.