Kenali Dulu Lawan Bicaramu, Jangan Sampai Malu

Ungkapan ilmu padi yang semakin berisi makin merunduk sudah makin ditinggalkan. Jaman sekarang, dengan alasan update portofolio untuk kepentingan personal branding, orang merasa perlu untuk menyebarluaskan aktivitasnya, baik yang sehari-hari, apalagi yang merupakan prestasi. Namun, kesibukan saya bertemu beberapa orang belakangan ini membuat saya menyadari bahwa perkembangan itu kebanyakan berlaku di interaksi online. Sedangkan di dunia offline, ilmu padi itu masih banyak dipegang. Mengapa demikian?



Sadar atau tidak, seseorang aktif di media sosial karena ingin dikenal. Minimal ingin mendapat respon orang lain. Kalau tidak, ngapain menyebarkan kegiatan dan pemikiran pada orang yang tidak dikenal? Boleh saja mengaku hanya untuk memuaskan diri mengeluarkan uneg-uneg atau sekedar rekaman untuk dilihat kelak, tapi senang kan kalau mendapat jempol? Apalagi jika kemudian mendatangkan uang, misalnya jadi buzzer, maka faktor dikenal ini menjadi sangat penting.
Sayapun begitu, sering mengintip angka-angka popularitas. Namun beberapa kegiatan lalu mengajarkan saya untuk berhati-hati menilai orang. Dia boleh saja tak dikenal, tapi itu tak berarti dia bukan siapa-siapa.

Sikap bisa menipu. Ceritanya saya harus menjemput anak dari sebuah acara di sebuah hotel berbintang 4. Ketika hendak masuk lobi, mata saya bertemu dengan mata seorang nenek. Saya sudah mengenalnya meski tidak dekat. Beliau hendak menjemput cucu dari acara yang sama. Nenek ini kalau bicara tak pernah basa-basi. Beliau duduk seenaknya dengan penampilan seadanya disebuah pagar tembok rendah. Kelihatan (maaf) sama sekali tidak anggun untuk seusia beliau. Karena saya mengenalnya, saya menghampiri dan mengajaknya masuk agar beliau bisa duduk ditempat yang lebih layak. Ketika sudah duduk nyaman, saya mengajaknya ngobrol. 
Dari situlah mulut saya cuma bisa mangap tak henti-henti kagum dengan sepak terjang beliau dan keluarga. Beliau bukanlah orang sembarangan, melainkan pemilik sebuah yayasan pendidikan yang mengampu anak-anak sekolah dari TK hingga akademi kesehatan, termasuk sebuah pesantren untuk putra dan putri. Seminggu lalu beliau baru saja pulang menjemput 8 remaja penghapal Al Quran untuk digratiskan kuliah di akademi kesehatan milik keluarganya. Ibu cucu yang dijemputnya itu sedang berada di Thailand untuk sebuah presentasi kesehatan. 
Saya mengerti, orang yang sesibuk beliau mengurus cucu, keluarga, yayasan dan pesantren tentu tak punya waktu untuk basa-basi, dandan lama-lama dan segala pernak pernik kehidupan yang nggak penting-penting amat. Maka jika lain waktu berinteraksi dengan orang yang seenaknya dan seadanya, saya tak boleh memutuskan bagaimana bersikap sebelum benar-benar mengenalnya. 
Bagaimana jika tadi saya memutuskan untuk cuma senyum dan berlalu begitu saja? Pertama, membiarkan orangtua yang kita kenal kepanasan diluar itu berarti tidak peka. Kedua, saya kehilangan kesempatan mendapat inspirasi dari orang yang begitu bersemangat berkarya dan berbagi meski sudah tidak muda lagi. Ketiga, saya akan memelihara bibit angkuh dalam diri dengan membatin dan mencibir, "Ih, norak banget sih nenek itu."


Cara bicara bisa menipu. Ketika coffee break di sebuah seminar, saya ngobrol dengan seorang bapak yang cara bicaranya sangat kalem. Awalnya saya yang mendominasi pembicaraan. Karena acaranya dekat dengan budaya Jawa, saya pun nyerocos tentang karya-karya bapak saya, dari mulai kegiatan beliau memberikan pelatihan, menulis buku hingga menyusun kamus. Cari saja kamus Jawa-Indonesia atau Indonesia-Jawa oleh Sutrisno Sastro Utomo. Bapak tersebut sambil tersenyum mengaku telah mengenal bapak saya dan belajar secara tidak langsung dari bapak saya. 
Beliau memperkenalkan diri sebagai seorang petani. Saya heran karena forum ini dipenuhi oleh akademisi. Cuma saya saja yang bukan akademisi. Didalam forum tanya jawab, beliau juga memperkenalkan diri sebagai petani. Tapi kemudian, beliaulah yang memberikan usulan paling progresif hingga membuat narsum yang memiliki gelar berendeng pun terpukau. Dari situ saya mulai meragukan latar belakang beliau, yang kemudian saya tahu sudah ke beberapa negara untuk menimba ilmu dan sebenarnya punya beberapa gelar prestisius. Bagaimana mungkin tak seorangpun di forum tersebut mengenal beliau?
Bagaimana jika tadi saya sibuk mengumbar pencapaian diri agar terlihat layak berada di forum tersebut? Sudah pasti malu! Nggak ada apa-apanya dibandingkan bapak tersebut. Beliau tidak perlu memberitahu siapapun mengapa beliau layak berada disana, melainkan cukup dengan mengungkapkan buah pemikirannya, lalu orang tak peduli lagi apakah dia petani atau akademisi karena orang hanya menghubungkannya dengan program yang telah disusunnya tersebut.

Pergaulan bisa menipu. Siang itu saya eyel-eyelan dengan partner karena status booking hotel untuk keperluan pameran di luar kota yang menurut saya terlalu mahal. Partner saya yang gaptek itu berusaha meyakinkan bahwa harganya bukan seperti yang saya cek di internet, melainkan lebih rendah. Saya pun ngomel karena ternyata dia tidak search sendiri, melainkan dibantu temannya yang lain. Saya kesal karena sedikit-sedikit dia minta bantuan temannya tadi dan tidak bisa membuat keputusan secara mandiri. Tapi bagaimana lagi karena dia benar-benar gaptek. 
Dua hari lalu dia mengajak saya bertemu dengan temannya itu. Mengherankan karena dia bukanlah orang yang selo dan bukan pula pemilik biro ticketing tapi kok mau-maunya terus-terusan diribeti urusan satu-dua tiket pesawat. Dia pemilik usaha batik dan kerajinan yang cukup besar dan sudah bertahan lama. Jika teman-teman berwisata ke kota ini, pasti pernah melewati tokonya karena berada di kawasan utama kota. Dia juga pewaris salah satu orang terkaya di kota ini dimasa lalu. Mengapa dia mau berbaik hati bolak balik ditelpon untuk urusan sepele begini?
Bagaimana jika saya tidak mengenalnya langsung? Saya mungkin akan berpikiran dia pemilik usaha yang setara dengan partner saya itu, alias usaha kecil. Padahal nilai usahanya berlipat-lipat kali lebih besar. Tapi dia tidak membatasi pergaulan. Dia mau berteman dengan siapa saja, termasuk jika harus direpoti dengan hal-hal yang tidak penting baginya. Ketika masuk ke gallerynya dan dilayani dengan hormat oleh karyawannya, hati ini jadi penuh sesal karena sebelumnya sempat kesal.

Pengalaman yang berturut-turut terjadi itu membuat saya belajar untuk mengenal orang lain lebih baik lagi sebelum memutuskan bagaimana bersikap terhadap orang tersebut. Bersikap sopan dan menghargai sebelum kenal lebih lanjut akan menyelamatkan kita dari rasa malu. Bersikap sopan dan menghargai setelah kenal pun akan berguna karena sebenarnya kita tidak pernah 100% mengenal orang lain. Jangan sombong!.

Post a Comment

27 Comments

  1. Itulah kenapa jika saya ke ketemuan sama orang2 baru saya kenal atau komunitas baru saya lebih banyak diam memperhatikan teman2 baru saya untuk lebih mengenalnya

    ReplyDelete
  2. setuju banget nih, bisa juga baca dari bahasa tubuhnya tuh, btw thanks infonya :)

    ReplyDelete
  3. Nelan ludah berkali-kali membaca pengalaman Mbak Lusi. Diam adalah emas dan semakin berisi semakin berunduk ternyata masih banyak berlaku di dunia offline. Cuma kalau di sosmed interaksi kita kan lewat kata-kata, kalau mempraktekan diam adalah emas, gak bakal punya follower dan gak tahu juga orang siapa kita ya..Terus gak bisa jadi buzzer :)

    ReplyDelete
  4. cuma mau bilang "awesome" Mbak, semoga aku juga bisa menerapkannya di dunia nyata

    ReplyDelete
  5. betulll mak, makanya saya nggak pernah melihat seseorang juga dari penampilannya. Kalaupun harus ngobrol biasanya saya lebih banyak mendengar sekalian curi-curi pengalamannya.

    ReplyDelete
  6. Iya kadang apa yang terlihat belum tentu mencerminkan isinya ya mbak Lusi. Sebaiknya bicara dan mendengarkan pas pada porsinya. Saya juga terus belajar untuk sopan dan menghormati orang lain nih mbak :)

    ReplyDelete
  7. betul mba...
    saya setuju banget tuh...
    makanya ketika baru kenal lebih baik kita bicara secukupnya saja dan lebih banyak diam untuk memahami karakter lawan bicara kita, setelah mengenalnya baru deh kita bisa menyesuaikan perkataan kita sesuai dengan tingkatan mereka

    ReplyDelete
  8. so true..never judge the book by its cover :)..dan hari gini kalau ngg melek internet susaaah ya maak

    ReplyDelete
  9. Suka sama postingan ini mak. Mak jleb banget

    ReplyDelete
  10. hihi aku milih diem aja kalau pertama kenal, takut salah. Tapi kalau udah keceplos salah ya minta maaf hehe

    ReplyDelete
  11. tidakmenilai seseorang dari luar ya mbak, ternayta di dalamnya sinenek begitu luar biasa

    ReplyDelete
  12. Banyak orang terkecoh dengan penampilan luar seseorang, terkadang orang yg nampak biasa2 saja ternyata orangnya hebat atau super tajir ya Mak. Kebalikannya, ada juga yang biasa2 aja tapi sombongnya minta ampun.

    ReplyDelete
  13. Kita memang cenderung melihat orang dari penampilan. Jaman sudah bergeser

    ReplyDelete
  14. Terima kasih sudah menceritakan pengalamannya mbak! Duh, saya jadi merasa tertampar nih. Sifat sok tau saya perlu dikurangi dah

    ReplyDelete
  15. Jangan menilai orang dari luarnya aja ya. Duh itu si nenek patut diacungi jempol deh. Kok jadi inget dengan cerita anak, raja yang menyamar jadi rakyat jelata :D

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)