Mengurangi Jejak Karbon Bisa Membuat Hidup Ibu Lebih Praktis

Kali ini kita ngobrol tentang jejak karbon ya, bu. Bukan karbo, loh. Ibu-ibu mungkin lebih familiar dengan karbo ya, karena diet gagal melulu. Tapi ini hubungannya jauh. Jadi kita tinggalkan dulu urusan karbo.

mengurangi jejak karbon

Jadi jejak karbon adalah efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh kegiatan kita. Ada pula yang menyebutnya sebagai carbo dioksida (CO2) dan methan (CH) yang dihasilkan oleh sebuah kegiatan. Jadi, tak perlu pabrik atau gedung pencakar langit untuk menimbulkan efek rumah kaca. Individu seperti para ibu, jika secara bersama-sama tidak peduli, akan menghasilkan jejak karbon yang tinggi. Ya, jejak karbon bisa dihitung. Saya dulu pernah belajar menghitungnya ketika ikut pelatihan ekspor produk serat alam dari USAID. Tapi saya sudah lupa ya, karena sudah lama sekali. Jadi jangan tanya cara menghitungnya.

Oke, kita ngobrol yang ringan-ringan saja tentang kehidupan sehari-hari. Para ibu itu pakarnya ngirit. Tapi kadang kengiritan itu disikapi dengan keterlaluan sehingga membuat hidup kita ini ribet. Bahkan tak jarang malah jadi tidak ngirit lagi tanpa disadari.

Beberapa contoh yang saya lakukan misalnya yang terjadi beberapa minggu lalu tapi baru saya sadari tadi. Jadi, saya punya toko langganan peralatan jahit, yaitu toko J. Toko J sangat terkenal sehingga selalu ramai dan parkiran selalu penuh, baik motor maupun mobil. Bisa parkir saja sudah merupakan kesempatan langka buat saya, jadi kalau niat kesana, saya harus menyiapkan catatan tidak hanya barang-barang yang saya butuhkan saat itu tapi juga yang akan saya butuhkan di kemudian hari. Belum lagi saya harus merancang rute kesana agar lebih mudah mencari posisi parkir. Jika parkir penuh, saya akan berputar satu blok yang cukup jauh karena median jalan tidak menungkinkan untuk menyeberang.

Padahal dideretan itu ada toko lain (toko S) yang hanya gara-gara pertama kali saya kesitu kurang mendapatkan pelayanan yang menyenangkan, saya nggak mau lagi kesitu. Tadi ketika saya tidak mendapat parkir di toko J dan malas berputar, iseng saya berhenti saja di toko S. Kebetulan yang jaga beda dan sangat membantu. Lalu saya membandingkan kedua toko tersebut:

* Toko J memiliki bermacam-macam produk, dari baju sampai peralatan menjahit. Toko S khusus peralatan jahit. Kalau saya cuma perlu beli jarum pentul, buat apa saya mesti melewati baju-baju?
* Peralatan jahit di toko J ada di lantai 2. Kalau saya cuma butuh jarum pentul, buat apa saya harus ngos-ngosan naik ke lantai 2?
* Parkir yang sulit membuat saya kadang harus berputar satu blok yang berarti menghabiskan waktu dan bensin. Jika saya malas berputar, maka pekerjaan atau hobi saya tertunda untuk percobaan parkir di lain hari.
* Pelayanan di toko J sebenarnya sama saja dengan S, ada yang ramah, ada yang jutek. Bahkan di J saya sering menunggu lama karena semua pelayanan sedang sibuk.

Ibu-ibu sering seperti itu, suka mengikuti default orang-orang. Tahunya cuma toko itu. Yang terkenal toko itu. Yang direkomendasikan teman ya toko itu. Tidak ada ide untuk eksploring

Contoh lain adalah langganan busa saya, yaitu toko L. Toko L itu sangat terkenal dan menjadi jujugan semua pengrajin karena komplit dari bantal sampai plastik. Saya selalu repot-repot kesana meski parkir mobil cukup jauh dan jalanan panas untuk berjalan kaki dari parkiran ke toko L. Busanya ada di lantai atas dan saya harus mengambil nomor antrian seperti di bank atau dokter. Padahal dekat rumah saya ada toko khusus busa. Bukankah cuma busa yang saya butuhkan?

Seringkali kita seperti itu, terlalu mengandalkan sesuatu padahal tidak semuanya kita butuhkan. Kita terpaku pada toko yang paling lengkap di kota ini padahal yang kita butuh hanya satu macam yang juga ada di toko lain.

Salah satu yang harus saya laporkan ke klien ketika perusahaan tempat saya bekerja dulu akan mengekspor adalah bahwa semua bahan baku berada dalam radius 30 km dari tempat pemrosesan. Klien dari Eropa sudah sangat memperhatikan jejak karbon (carbon print) yang disebabkan oleh kegiatan industri warganya, baik yang berada didalam negeri maupun supplier dari luar negeri. Semakin jauh bahan baku dari pusat pemrosesan, semakin tinggi jejak karbon yang dihasilkan dari wara-wiri bahan baku tersebut ke tempat pemrosesan. Bagi kami sendiri waktu itu sebenarnya jadi lebih efisien, Meski diluar radius tersebut ada supplier yang memberikan lebih murah, tapi kendali mutu tentu lebih sulit, butuh biaya mondar-mandir dan lebih butuh waktu jika butuh solusi.

Ini juga coba saya praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika pindah ke tempat baru, saya akan berusaha mencari semua yang saya butuhkan sekitar rumah. Saya akan eksplor sekitar rumah meski saya tahu di area lain di kota yang saya tinggali kebutuhan saya bisa terpenuhi oleh toko, pasar atau penyedia jasa yang lebih terkenal. Saya tidak mudah percaya jika salah satu kebutuhan saya hanya bisa disediakan oleh satu tempat saja. Hidup di jaman sekarang tidak seperti itu. Pengusaha semakin banyak sehingga akan ada banyak alternatif.

Apalagi ibu-ibu sudah terkenal luwes bernegosiasi atau melakukan pendekatan. Misalnya ketika gas habis, dengan ngobrol agak lama dengan pemilik toko, saya bisa titip tabung di 3 tempat dekat rumah, yaitu warung sarapan sebelah rumah, tukang sayur dekat rumah dan toko kelontong di ujung jalan perumahan. Tak perlu ke toko kelontong besar atau toko yang memang menjual gas, cukup toko-toko yang rutin mendapatkan kiriman gas. Penjual sarapan adalah contoh yang mendapatkan kiriman rutin dari agen gas. Dengan demikian, saya tidak perlu kesana-kemarin nenteng tabung tiap hari ketika terjadi kelangkaan, yang otomatis mengurangi jejak karbon saya.

Ada anggapan bahwa selisih harga yang nggak seberapa sudah bisa membuat para ibu bahagia. Cuma selisih 500 saja bela-belain naik motor ke toko yang lebih jauh. Padahal jika dihitung dengan biaya bensin dan waktu yang dihabiskan menjadi sama saja bahkan jadi lebih mahal.

Jadi, dengan mengeksplor dan memanfaatkan apa yang ada disekitar berarti kita telah mengurangi jejak karbon. Meski pada awalnya ada trial and error, tapi selanjutnya akan membuat hidup kita jadi lebih praktis.


Post a Comment

10 Comments

  1. kok aku banget sih mba, kalau pelayanannya nggak ramah ogah kesitu lagi walau butuh, hahah. tapi bener juga sih bela-belain yang jauh cuma demi selisih sedikit jadinya malah buang-buang waktu dan tenaga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. seringnya harga bukan masalah tapi pelayanan yg ramah itu lebih utama

      Delete
  2. aha bener banget mak lusi. Kadang harga terpaut 500 perak tapi jaraknya lebih dari setengah kilometer jadi kalao diitung-itung jatohnya sama juga harganya hehe..

    ReplyDelete
  3. Jejak karbon dan efisiensi energi, konsep yg diajarkan sama dosbing aku. Sampe dibahas, kalau krupuk itu makanan yg loss energinya besar kalau dihitung dari bahan baku. And then aku menjadikannya sebagai skripsi hahaha tapi bukan krupuk sih objeknya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya budaya sustainable baru dianut di negara maju. Di negara berkembang masih byk yg snob, takut dibilang ngirit krn gak punya duit.

      Delete
  4. Saya gak termasuk yang begitu, Mbak. Pertama karena saya memang gak bisa nawar. Kedua kalau udah ketemu penjual yang cocok ya udah bis abelanja terus di tempat yang sama meskipun harganya mungkin agak mahal daripada toko lain. Ketiga, kalau harus kejar ke toko lain karena lebih murah sedikit yang saya pikirin gak cuma jejak karbonnya tapi nanti ada ongkos makan atau minimal minum :D

    ReplyDelete
  5. Nah dalam duduk persoalan ini bisa kita ambil kesimpulan, bahwa rezeki itu unik. Kaki kita yang melangkahkan tuhan, kita tidak tahu harus berhenti dimana. Walaupun jauh, kadang rela dijalanin walau harga selisih tidak seberapa. Karena jual-beli itu hati yang bermain, walaupun toko S lebih murah ,tapi tidak bisa memikat hati konsumen, jangan harap konsumen dekat untuk datang. Ini pengalam saya dalam berdagang, ini bukan soal selisih harga. Tuhan, keramahan hati ikut bermain. Ya begitulah ada kata pepatah, rezeki tidak tahu darimana datangnya. oh ya ,selamat atas keberhasilan bukun easy blogging, baru sempat membuat youtube. Semoga ada kesempatan untuk mereviewnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas, bukan soal selisih harga semata-mata. Eh, aku malah belum pegang bukunya lho. Itu buku tandem kok mas, saya cuma support penulis satunya utk memenuhi materinya. Terima kasih atas responnya.

      Delete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)