Perencanaan Biaya Pendidikan Untuk Persiapan Anak Kuliah Bukan Yang Utama

SUMBER: www.tirto.id

Perencanaan biaya pendidikan memang instrumen penting dalam mempersiapkan anak kuliah, tapi yang utama adalah anak itu sendiri.

Ini ingin sekali saya garisbawahi karena belakangan banyak pembicaraan tentang biaya kuliah oleh para orangtua. Sudah bukan rahasia lagi, biaya kuliah sekarang ini, sekalipun negeri, sangatlah tinggi. Jika si anak harus kos, maka pengeluaran orangtua akan makin tinggi. Meski begitu, saya tidak pernah menyebutnya sebagai beban karena itu adalah kewajiban orangtua.

Silakan dilihat tabel biaya kuliah diatas. Untuk PTN, teman-teman perlu memperhatikan UKT maksimal. UKT maksimal diperuntukkan untuk orangtua yang berpenghasilan 10 juta rupiah keatas pada saat ini. Saya kira itu sudah dicapai rata-rata orangtua yang bekerja baik sebagai PNS atau pegawai swasta dengan latar belakang sarjana. Karena itulah jadi heboh karena kebanyakan terkena UKT maksimal. Nah, yang masih muda-muda, silakan diproyeksikan berapa pendapatan teman-teman di usia anak kuliah nanti. Jika setara dengan 10 juta rupiah sekarang, berarti akan terkena UKT maksimal. Tinggal dicermati saja, berapa kenaikan rata-rata UKT per tahun sampai saatnya anak kuliah nanti. Jika proyeksi pendapatan tidak bisa mengejar kenaikan UKT per tahun, berarti teman-teman harus menyisihkannya dari sekarang.

Sebenarnya, di jaman sekarang ini,  TK swasta saja sudah berjuta-juta biayanya, mungkin malah lebih tinggi dari biaya kuliah untuk UKT level pertengahan. Tapi tetap banyak orangtua yang anak-anaknya masih kecil merasa ciut membayangkan seperti apa biaya kuliah anak-anak mereka nanti. Well, perlu diketahui bahwa matematika Gusti Allah itu beda dengan matematika kita. Tak perlu merasa gentar. Insya Allah pada saatnya nanti akan mampu. Selain itu, sebenarnya sebanyak-banyaknya uang yang kita persiapkan, banyak yang lupa bahwa persiapan utama justru si bocah. Maukah dia? Mampukah dia?

Keinginan mayoritas orangtua adalah anaknya sekolah yang pinter lalu jadi dokter. Namun fakta dunia tidak seperti itu. Ada yang jadi tentara, guru, seniman, buka restoran, jurnalis, pegawai pemerintahan, engineer, penulis dan sebagainya. Dari jutaan anak yang lahir, paling cuma sekian persen saja yang menjadi dokter. Dokter itu memang profesi yang dihormati sejak jaman batu dalam wujud dukun. Sedangkan profesi lain baru berkembang kemudian. Profesi-profesi baru akan terus bermunculan sesuai dengan jamannya, misalnya sekarang ada web master, media social specialist, blogger dan sebagainya. Meski profesi purba seperti dokter tak tergoyahkan, tapi sebagai orangtua, kita harus terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan baru supaya anak dan ortu tidak sama-sama stress.

Teman-teman mungkin ingat postingan tentang anak saya yang ingin menjadi guru, meskipun akhirnya dia mengambil jurusan yang berbeda. Waktu itu saya dengan santai menerimanya. Anak-anak yang mendapat nilai bagus di sekolahnya tidak harus mendaftar di kedokteran dan teknik, kok. Untuk menjadi guru juga harus pandai. Bagi saya, yang penting adalah dia punya tekad agar di kemudian hari dia bisa terus menambah kompetensinya, baik secara akademis maupun manfaatnya di tengah masyarakat.


Keahlian itu bisa dicapai oleh orang yang passionate. Rejeki akan mengikutinya. Sebagai contoh adalah teman facebook saya, seorang pembatik lulusan ISI. Kami berteman sejak dia melorot batik menggunakan ember-ember kecil didepan kontrakan sempitnya. Sekarang dia sudah punya padepokan dan mobil sports. Tiap dia melelang batik di facebook, dalam sekejap selembar kain batiknya bisa laku jutaan rupiah. Bahkan batik yang defect tetap laku dilelangnya. Semua peserta berebut.

Cerita sebaliknya justru terjadi terhadap anak teman kami. Si anak sudah kuliah di sebuah perguruan tinggi top hingga semester 8. Berarti tinggal sedikit lagi lulus. Tapi apa yang terjadi? Si anak malas masuk kuliah. Sering bolos, dan akhirnya keluar untuk mengejar passion sebagai pelukis. Bayangkan, waktu 4 tahun dan biaya yang sudah keluar menguap begitu saja. Bisa saja dia mengancam si anak agar menuntaskan kuliah. Tapi terakhir saya dengar, si ayah menyerah mengikuti keinginan si anak daripada anak itu tidak mau pulang.

Banyak masalah yang tak disangka-sangka, selain uang, yang membuat perencanaan orangtua jungkir balik. Dua contoh ini adalah orang dekat saya, yaitu sahabat dan saudara. Anak mereka kembali ke rumah, tidak mau melanjutkan kuliah dengan alasan yang berbeda. Yang satu karena tidak pernah jauh dari keluarga sehingga tidak betah. Padahal kuliahnya hanya di UNS, sedangkan ortunya di Jogja. Dekat, bukan? Yang satunya lagi karena putus cinta dan merasa diteror sang mantan. Banyak hal lain diluar biaya pendidikan yang harus diperhatikan, karena itu utamakan kesiapan si anak.


Bagaimana agar biaya pendidikan sinkron dengan kemampuan dan kemauan anak?

Sungguh, tak ada rumus yang paling tepat untuk ini karena biasanya orangtua sudah menabung sejak anak-anak bayi, padahal dalam rentang waktu yang panjang itu apapun bisa terjadi, baik secara global, regional maupun pada si anak itu sendiri. Tapi mungkin teman-teman bisa belajar dari kekeliruan-kekeliruan saya.

1. Menetapkan Cara Menabung

Cara menabung yang tepat itu tergantung dengan latar belakang orangtua tentusaja. Jika dia pengusaha, dia akan punya proyeksi-proyeksi keuntungan dan tak akan membiarkan uang hanya berdiam diri selama 17 tahun. Dia akan menginvestasikan terus keuntungannya hingga punya aset yang cukup dengan likuiditas yang baik ketika anak-anak besar. Jika orangtuanya pegawai, mungkin dia akan memilih cara yang lebih konservatif, misalnya tabungan pendidikan, deposito, asuransi, bahkan menabung emas. 
Saya pernah dengar bahwa student loan sudah ada di Indonesia. Setelah saya googling ternyata belum banyak. Sedangkan Bidikmisi diperuntukkan untuk anak-anak dari kalangan orang tak mampu. Jangan sampai kita meminta anak-anak mendaftar Bidikmisi bukan karena kita tak mampu tapi karena kita mau berhemat atau membuat perencanaan. Jangan sampai gaya hidup boros kita dibebankan ke negara dan dibebankan ke orangtua anak-anak lain yang bersedia membayar. Selain itu, karakter apa yang akan diwariskan ke anak jika surat-surat kelengkapan pendaftaran dibuat-buat supaya kelihatan tidak mampu?
Waktu itu saya memilih cara konservatif dengan perhitungan inflasi 5% dan kenaikan biaya kuliah 10% per tahun. Kesalahan saya adalah tidak melakukan review tiap tahun terhadap kenaikan-kenaikan tersebut karena yaaah kan anak-anak masih kecil? Tapi seperti yang saya katakan diatas bahwa rentang waktu tersebut cukup lama, maka sebaiknya dilakukan review. Minimal ketika anak-anak sudah masuk SMP, apakah tetap seperti itu atau ditambah?
Peristiwa besar yang mengacaukan persiapan saya tersebut adalah perubahan kebijakan pendidikan yang membuat perguruan-perguruan tinggi mencari sebagian dana sendiri atau dengan kata lain menjadi lebih komersil. Saya tak ingat kapan, yang jelas waktu itu terjadi lonjakan biaya kuliah sehingga demo penurunan rektor terjadi beberapa kali. Seharusnya waktu itu saya mencermatinya, tapi karena sibuk dengan urusan rutin sehari-hari, masalah tersebut terlewat. 
Akhirnya hitungan saya diawal menetapkan cara menabung tersebut sudah tidak sesuai lagi. Lump sum yang saya dapat ketika anak saya mulai kuliah sudah tidak cukup untuk mencover sampai dia hingga sarjana. Yup, targetnya biaya kuliah sampai lulus, bukan hanya untuk awal masuk saja. Jadi sekarang saya harus menabung lagi untuk menutup kekurangannya di semester-semester akhir nanti.

2. Memantau Prestasi Anak

Kalau biaya pendidikan bukan yang utama, mengapa saya letakkan di nomor 1? Ini karena cara menabung kita tetapkan ketika kita sudah berkomitmen untuk persiapan tersebut, namun harus siap dengan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan si anak. Misalnya memilih asuransi atau tabungan pendidikan, pilihlah penawaran yang basic dulu. Jika prestasi anak stabil dan tidak ada perubahan kebijakan berarti dari pemerintah, planning tersebut bisa dilanjutkan. Tapi jika prestasi anak naik turun, mungkin target biaya pendidikan bisa dinaikkan agar mengcover biaya kuliah di PT swasta hingga lulus.
Sebenarnya, kita bisa melakukan riset sedikit tentang alumni sekolah anak kita. Berapa yang diterima di perguruan tinggi negeri dari tahun ke tahun? Jika memilih sekolah tinggi kedinasan, dimana orangtua akan dimudahkan karena tidak ada biaya kuliah, hendaknya orangtua juga melihat benar-benar kesiapannya. Tidak hanya di nilai dan prosentase dari sekolah tersebut yang diterima, tapi juga syarat lain, misalnya ujian fisik. 
Dari prestasinya di sekolah dan dari prosentase alumninya kita akan melihat kekurangan anak kita. Jika keukeuh menginginkan sebuah jurusan di sebuah PT, konsekuensinya akan ada biaya tambahan untuk bimbingan belajar intensif, membeli buku-buku soal dan try out.
Jadi pemantauan prestasi bukan untuk memupus harapan si anak atau sebaliknya membuat kita jumawa, melainkan untuk membuat persiapan lebih baik. Bisa saja kan si anak meletakkan pilihan pertama pendaftaran PT berdasarkan setinggi-tingginya cita-citanya, lalu meletakkan pilihan kedua atau ketiga berdasarkan realitas? Nah, sebagai orangtua, apapun pilihan anak, persiapan keuangan yang dilakukan tetap berdasarkan realita. Jika akhirnya nanti gratis, misalnya diterima di sekolah tinggi kedinasan, yang berarti tabungan utuh, anggap saja telah mendapatkan bonus yang luar biasa.
Karena itu perlu keteguhan orangtua untuk tidak melirik pilihan-pilihan popular atau tradisi keluarga besar harus kuliah dimana. Fokus saja dengan daya dukung si anak. Pilihan di PT bukan akhir segalanya. Perjalanan untuk menjadi sukses masih jauh dan masih banyak ujian-ujian hidupnya.

3. Mengikuti Perjalanan Perubahan Cita-cita Si Anak

Memang ada anak-anak yang sedari kecil sudah ingin menjadi sesuatu. Tapi anak-anak di sekitar saya seringkali mengubah cita-citanya. Ada yang awalnya ingin jadi pilot, ketika ditanya lagi ingin jadi polisi. Ada yang awalnya ingin jadi dokter hewan, lalu berubah pikiran ingin jadi pramugari. Anak-anak memang seperti itu, mengikuti apa yang sedang menarik perhatiannya. 
Biarkan saja mereka mengeksplorasi keinginan dan cita-cita, namun beri batas waktu. Setidaknya, ketika memasuki SMA, mereka sudah tahu ingin kemana meski tidak secara detil jurusannya. Apakah akan ke perguruan tinggi atau sekolah tinggi kedinasan atau program beasiswa lainnya. Setahu saya, mereka akan mengambil semua kesempatan tes, tergantung mana yang akan diterima dulu. 
Perubahan cita-cita ini tentu akan mengubah persiapan menghadapi serangkaian ujian. Contohnya, teman-teman anak saya yang ingin masuk STAN sudah melakukan persiapan fisik sejak kelas 1 / X SMA karena akan ada ujian fisik. Jika keinginan ini terjadi di kelas 3 / XII SMA, tentu porsi latihan harus lebih banyak dari teman-temannya yang memiliki cita-cita sama.
Hendaknya orangtua juga bisa menjadi teman diskusi yang baik, dalam arti mendengarkan, memberi saran tapi membiarkan mereka yang mengambil keputusan akhir. Ini untuk menghindari perubahan yang merugikan ditengah masa kuliah. Misalnya si anak ingin kuliah di Jogja sedangkan orangtua tinggal di Bandung. Orangtua tidak memiliki persiapan biaya kos karena selama ini berasumsi si anak akan kuliah di Bandung karena Bandung memiliki banyak kampus-kampus terbaik juga. Beri dia wawasan apa yang akan dialami selama kos sehingga tidak ada alasan homesick atau nggak kuat ngirit di kemudian hari.
We will need a lot of talking session in this period of time with our children. Hindari asumsi-asumsi, harus ada kesepahaman.

4. Menjadi Pendorong Semangatnya

Ketegangan masuk perguruan tinggi sudah terasa sejak anak masuk SMA. Sayangnya ketegangan itu justru bersumber dari para guru. Mereka terus-menerus menekankan grafik nilai yang naik. Jika nilai sudah sangat tinggi di semester 1, para guru malah menghimbau agar tidak terlalu tinggi, takut grafik tidak bisa naik karena makin hari pelajaran makin sulit. Sekolah ingin meloloskan sebanyak mungkin murid lewat jalur SNMPTN alias jalur tanpa tes. 
Tentu saja itu membingungkan anak-anak. Kalau mau gampang sih, suruh saja mereka malas belajar di semester 1. Tapi sebagai orangtua, tentu kita tidak bisa mengajarkan anak-anak tidak berdedikasi seperti itu. Karenanya, tetaplah memberi semangat pada mereka untuk terus belajar. Anak yang rajin pasti akan menuai hasil yang baik tanpa perlu skenario seperti itu. 
Sejauh yang saya ketahui, guru-guru yang memiliki prestasi baik malah lebih santai. Prinsip mereka lebih sederhana, yaitu belajar saja setiap hari seperti seharusnya seorang siswa. Dan memang terbukti siswa-siswa yang diterima lewat SNMPTN tidak harus yang grafik nilainya mulus dari bawah keatas. Stumble sedikit tidak masalah, yang biasanya terjadi di kelas 2 / XI karena sibuk organisasi, event atau lomba, asal di akhir semester 5 bisa bangkit. 
Aral akan selalu ada, maka sebagai orangtua harus selalu siap dengan plan B. Jangan biarkan anak-anak melihat jalan buntu. Walaupun sebagai manusia, ortu juga bisa sedih atau pesimis, tapi tidak di depan anak-anak. Mereka berhak mendapatkan sebanyak mungkin kesempatan.

Jadi, biaya kuliah memang penting dipersiapkan sejak anak-anak kecil. Tapi itu tidak akan ada gunanya jika orangtua tidak paham kemauan dan kemampuan si anak. Biaya pendidikan kita persiapkan karena anak kita kan membutuhkannya untuk mencapai cita-citanya. Biaya pendidikan kita persiapkan bukan untuk memproyeksikan akan jadi apa anak kita 20 tahun mendatang. Jangan kebalik, ya.

Seperti quote dari Kahlil Gibran: Your children are not your children. They are the sons and daughters of Life's longing for itself. They came through you but not from you and though they are with you yet they belong not to you.


Post a Comment

16 Comments

  1. Iya ya Mak, aku suka galauan lihat biaya kuliah sekarang dan sering banget ngitung semuanya pake matematika manusia. Maturnuwun sudah berbagi. Bermanfaat pol buatku Maklus

    ReplyDelete
  2. Suka sama quote-nya. Maklus, kami klg homeschooling ini jg punya planning u pendidikan tinggi anak2.
    Tahun ini sih yg sulung resmi masuk pembinaan atlet dan dpt tunjangan nah dia bilang uangnya disimpan buat sekolah ke luar. Dan emaknya nganga, duuh le

    ReplyDelete
  3. Ya ampun maklus pinter bgt si. Keder bacanya hahaha. Thanks for sharing as olwess makk. Ilovyu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktumu masih banyak. Pada saatnya nanti biasa aja sih spt ibu2 lain hehee

      Delete
  4. Biaya sekolah anak zaman sekarang bikin jantung berdegup kencang huhuhuh.

    ReplyDelete
  5. Anakku dah SMA, dan cita-cita berubah. Pengennya sih si anak segera menemukan perguruan tinggi maupun jurusan yang diinginkan. tau minimal konsultasi ke guru BK.

    Benar mba, aku merasakan sekolah mau meloloskan lebih banyak anak lewat jalur SNMPTN. Makasih dah berbagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heheheee semoga anaknya bisa menentukan pilihan. Istikharah akan banyak membantu.

      Delete
  6. aku biasanya males baca yang beginian lhoh. tp ini ampe kuulang biar paham sambil angguk2. efek beberapa waktu ini juga sering denger kicauan ibuk2 tentang drama sekolah anaknya sih. hufhh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak kok chan kalau males baca. Aku ceritain aja, mau?

      Delete
  7. Setuju banget mba lus, ngga hanya persiapkan biaya, anak juga kudu disiapkan jgn kayak daku salah jurusan huhu

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)