Pilih Pre Order (PO) Atau Ready Stock?

Peringatan, artikel tentang Pre Order (PO) atau Ready Stock ini mengandung curhat di sana sini. Semoga teman-teman tabah membacanya. Artikel ini dari sudut pandang penjual dan pengrajin produk handmade skala imut di online shop, ya. 


totebag


Pengertian Pre Order (PO) 

Istilah Pre Order atau PO ini saya ketahui ketika memulai usaha sendiri di bidang kerajinan atau craft. Sebelumnya, saya bekerja kantoran dan banyak berhubungan dengan rencana pembelian bahan. Di pekerjaan kantoran tersebut, saya lebih mengenal PO sebagai Purchase Order yang dibalas dengan invoice. Jika barang sudah siap kirim, produsen menerbitkan DO (Delivery Order). Jadi, awal-awal jualan dulu agak bingung dan sering ngotot menggunakan istilah yang lebih dulu saya kenal. Konyol juga, sih. Hahaaa. 

Sering kan dengar ibu-ibu woro-woro open PO? Maksudnya, beliau siap menerima pesanan dan akan membuat produk tersebut sebanyak jumlah yang sudah PO. Peserta open PO akan menerima totalan harga pesanan masing-masing. Ada penjual yang menerapkan pembayaran dengan uang muka, ada yang mengharuskan lunas dulu sebelum dibuat, ada pula yang mengijinkan pembayaran jika sudah siap kirim. Yang jelas, pengiriman pesanan tidak bisa segera dilakukan, melainkan harus menunggu proses produksi atau proses pemesanan (untuk reseller) selesai.


Baca juga: Apa dan Bagaimana COD Dalam Jual Beli Online


Pengertian Ready Stock

Awal jualan dulu bingung tiap ditanya calon pembeli, "Ini ready, kak?"

Padahal jelas-jelas di keterangan produk tersebut saya tulis Ready Stock. Lama-lama ya sudah saya jawab langsung iya, tanpa terlalu memikirkannya. Sampai sekarang masih menjadi misteri bagi saya, apakah ready dan ready stock itu beda?

Jadi, ready stock itu menurut saya adalah produk jadi yang bisa dibeli dan segera dikirim karena sudah tersedia. Untuk yang terpajang di e-commerce, pembeli bisa langsung check out dan bayar tanpa perlu bertanya lagi ketersediaannya.


Pengalaman Jualan Sistem Pre Order (PO)

Penjualan sistem pre order (PO) sudah saya jalani bertahun-tahun, baik ketika masih berjualan produk storage boxes maupun setelah craft jahit di beyouprojects seperti sekarang. Minggu lalu saya mendapat pesanan yang jumlahnya lumayan tapi pengerjaannya butuh waktu lama karena ada beberapa tahapan proses. Belum lagi waktunya yang mepet. Perlu diketahui saya mengerjakannya sendiri, tanpa karyawan. Pesanan itu membuat fisik saya benar-benar terkuras sehingga harus istirahat 2 hari tanpa mengerjakan apa-apa setelah pesanan tersebut dikirimkan. 

Pada saat itu saya merenung. Usia saya sudah tidak muda lagi, jadi wajar fisik sudah melemah. Lebih jauh saya mengevaluasi bahwa seharusnya saya tidak mengerjakan produk massal. Saya memperlakukan diri saya bak penjahit borongan. Padahal penjahit borongan saja tidak mengerjakan semua seperti belanja, menggunting dan sebagainya, melainkan hanya menjahit. Belum lagi margin yang sudah sewajarnya diturunkan sebagai imbal balik atas jumlah (volume) yang banyak. 

PO dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dan waktu yang cukup memang terasa lebih menyenangkan dibandingkan dalam jumlah banyak. Tapi kemudian pertanyannya, apakah target omset bisa tercapai dengan output yang cuma segitu-segitu saja?


Baca juga: Review Buku Sukses Membangun Toko Online


Pengalaman Jualan Sistem Ready Stock

Penjualan sistem ready stock juga sudah lama saya jalani. Dahulu stock tersebut untuk mengisi outlet saya di mall. Setelah tidak punya outlet, stok saya gunakan untuk mengikuti pameran-pameran. Baru tahun lalu saya mencoba berjualan produk jadi di e-commerce. 

Sebenarnya di e-commerce ada pilihan PO juga, tapi saya memilih ready stock untuk mengurangi interaksi dengan pembeli karena saya tidak punya asisten. Ternyata, di e-commerce inilah saya melihat justru beberapa seller mewajibkan pembeli untuk bertanya apakah barang ready atau tidak. Mungkin disinilah awal mula ready dan ready stock itu tidak sama. Entahlah, kok ruwet begitu. 

Pernah ada seller yang berdalih itu karena dia jualan di platform lain juga. Dengan kata lain, stok yang sama ditawarkan ke beberapa platform e-commerce sekaligus. Jadi bisa saja di platform A masih ready, padahal sebenarnya barang tersebut sudah terjual di platform B tapi jumlah stok di platform A belum dikoreksi.

Ada pula yang menggunakan sistem seperti di toko konvensional meski bentuknya online. Jadi sebenarnya barang tersebut tidak pernah ada. Cuma berupa foto saja. Nanti kalau ada yang beli, baru dicarikan di toko setempat. Kalau beruntung, bisa langsung dikirim. Kalau sial, sudah mepet deadline platform tersebut, baru dikirim. Pernah nggak, beli barang online padahal satu kota tapi pengemasannya saja butuh waktu 2 hari, sedangkan kurir cuma butuh sehari untuk mencapai alamat pembeli? Kadang sampai kurir gagal pick-up dan harus bolak-balik ke seller karena barang belum siap. Kira-kira seperti itulah kejadiannya.

Ready yang beneran ready stock memang ada kekurangannya, yaitu butuh modal lumayan dan bisa terjadi tumpukan barang jika tidak segera laku. Untuk menjalani sistem penjualan ready stock yang benar seperti ini butuh keberanian dan ketepatan membidik pasar karena resikonya cukup besar. 

Saya pribadi lebih tenang menggunakan sistem ini karena bisa berproduksi tanpa dikejar deadline. Kreativitas juga lebih bebas. Resiko stok tersimpan terlalu lama tentu saja ada. Supaya tidak sampai rusak, bisa dijual dengan harga diskon asal modal kembali. Resiko lain adalah jika salah inventaris di platform e-commerce. Bisa sih dibatalkan tapi nama baik taruhannya. Saya selalu mengusahakan untuk mengejarnya lebih dulu menggunakan semua fasilitas yang ada termasuk pembelian bahan melalui kurir instan yang mahal. Memang rugi, tapi anggap saja sebagai biaya kelalaian yang tak boleh terulang lagi.


Impian Sebagai Pengrajin Atau Crafter

Di medsos, orang sering mengeluh ketika masih kuliah ditanya kapan lulus, sudah lulus ditanya kapan kerja, sudah kerja ditanya kapan kawin, sudah kawin ditanya kapan punya anak dan seterusnya. Pengrajin seperti saya pun sama. Ketika masih belajar menjahit ditanya apakah produknya dijual, sudah dijual ditanya apa menerima pesanan, sudah menerima pesanan ditanya mengapa tidak mengupah orang lain dan sebagainya. Saya pernah ditegur mengapa tidak bagi-bagi rejeki ke ibu-ibu rumah tangga lain? Saya pernah disepelekan teman karena dianggap terlalu ribet, sedangkan dia enak tinggal cari orderan lalu lempar job ke pengrajin. Semua sama! Orang cenderung tidak puas melihat apa yang dilakukan orang lain. Bicara itu mudah banget, nggak bayar.

Faktanya, tidak mudah merekrut orang. Saya pernah merekrut orang ketika masih bergelut dengan storage boxes. Meskipun tanpa ikatan dan hanya membayar sesuai dengan orderan alias borongan, nyatanya saya tetap stress memikirkan nasib mereka jika lama tidak melempar orderan. Ketika borongan tiba, tak bisa langsung dikerjakan karena harus ada sample dan akhirnya kita fokus di model-model yang mudah diproduksi massal. Kreativitas tidak berkembang sampai tiba-tiba sudah disalip pesaing yang inovatif.

Borongan juga ada pagu harganya. Saya pernah melihat seseorang dibully di sebuah komunitas craft ketika menawarkan pekerjaan borongan. Alasan para pembully, sesuatu yang handmade tidak bisa dihargai murah. Sementara yang namanya borongan skala rumah tangga, bukan konveksi besar, tidak bisa mengambil marjin besar. Meskipun handmade, itu adalah produk massal, bukan eksklusif. Hanya orang-orang beruntung yang bisa mendapatkan kondisi saling membutuhkan. 

Meski begitu, mungkin memang sebenarnya saya saja yang tidak punya kapabilitas memadai karena buktinya orang lain bisa tiap hari memproklamirkan diri sedang mengerjakan banyak pesanan dan bagi-bagi rejeki ke ibu-ibu penjahit di sekitarnya.

Role model saya di crafting sih Ditut dan Diana Rikasari. Sayang, saya bukan designer seperti mereka. Ini ditambah lagi dengan atmosfir dunia craft yang berbeda antara Indonesia dan negara maju. Di Indonesia, seperti yang saya ceritakan diatas, dunia craft didominasi dengan kerja-mengejar omset dan padat karya. Ditut yang tinggal di New York dan Diana yang tinggal di Laussanne menjahit sendiri. Kadang berkolaborasi dengan sesama pengrajin atau designer. Kolaborasi ya, beda dengan mengupah. Ditut membuat stok per badge atau berdasarkan event. Sedangkan Diana suka-suka dia saja dalam berproduksi. Dalam hal penjualan pun, selain punya brand sendiri, mereka juga bekerja sama dengan banyak akun dan event. Mereka benar-benar cerminan crafter, bukan buruh jahit. Kreativitas terjaga, cuan terus mengalir.

Saya boleh dong ya, bermimpi seperti itu meski skill dan atmosfir belum mendukung? Siapa tahu dengan ijin Allah saya bisa lebih lepas mengembangkan kreativitas seperti impian saya itu. Sekarang yang utama adalah mengembangkan karya. Di dunia crafting, diatas brondang-branding yang lebih penting adalah percaya diri dengan karya sendiri. Kepercayaan diri itu akan membentuk ciri khas yang bermuara pada branding yang kuat. Hiiish berteori itu mudah banget ya. Hayo coba dijalani, bisa tidak? Heheheee .... Insya Allah.

Nah, curhatannya sama banyak dengan tema artikel Pre Order (PO) atau Ready Stock. Sudah lama tidak menulis panjang lebar begini di blog karena uneg-uneg sudah banyak ditumpahkan di akun IG beyourselfwoman. Akhir kata, semoga pilihan teman-teman baik PO atau ready stock, sama-sama membuat usaha teman-teman maju dan rejeki barokah terus mengalir. Aamin.

Post a Comment

2 Comments

  1. Sebagai pembeli aku sih mikirnya ready dan ready stock itu sama yaaa :D. Jadi kalo dibilang ready, ya aku ga bakal chat sellernya lagi :D.

    Tapi terkadang akupun ga keberatan beli barang PO mba. Apalagi kalo memang barangnya aku suka banget dan susah dicari. Gapapa deh lama :D. Sabar menanti :).

    ReplyDelete

Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)